Nationalgeographic.co.id—Keteplak...keteplok...keteplak...keteplok... Bagong, kuda penarik dokar yang saya tumpangi, meniti malam bergerimis di tangsi militer tua tanpa penerangan jalan. Veteran Ngeblok, demikian warga Kota Salatiga menjuluki seruas jalan itu lantaran dihuni para legiun pensiunan tentara. Sepinya malam membuat tengara sepatu Bagong kian membahana. Kalau boleh diumpamakan, perjalanan malam itu lebih mirip latar film horor Indonesia 1980-an.
Sejatinya kita bisa melancongi Salatiga dengan angkot, becak, dokar—atau jalan kaki karena pusat kota tak terlampau luas. Namun, seiring matahari terbenam, angkot-angkot pun turut terbenam dari sudut-sudut kota. Yang perlu diingat, bahwa jalanan kota di pinggang Merbabu ini dihiasi tanjakan dan turunan, jadi pastikan kita menggunakan moda transportasi yang tepat. Pengalaman hari pertama, saya meluncur dengan becak yang tak terkendali di jalan menurun tengah kota!
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR