Suatu senja di pecinan yang memudar. Saya tertegun pada sebuah rumah sekaligus toko buah-buahan yang menurut saya berarsitektur unik, campuran Cina-Hindia-Eropa. Atapnya bergaya pelana khas Cina. Dekorasi fasad depannya berupa mosaik porselen yang mengapit tulisan ”Anno 1912” dan patung elang yang menatap tajam sembari mengepakkan sayapnya kepada siapa saja yang melintasi Jalan Semeru.
Di sinilah sepetak pecinan lama Salatiga, yang pada awalnya membangun peradaban di seberang utara tangsi militer, kini sekitar Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman. Tak heran pula apabila di Jalan Sudirman terdapat Pasar Kota Salatiga yang menggelumat sejak jelang subuh. Bayangkan, dari pasar sayuran hingga pasar loak tersedia di sini.
Ketika menyusuri ruas Jalan Sukowati, saya menghentikan langkah tepat di depan klenteng tua Hok Tek Bio. Riuh cengceng, terompet cina, dan tambur berpadu. Ternyata siluman kerbau hijau membuat huru hara di negeri Tong Tiauw. Sebuah pertunjukan wayang potehi tengah digelar selama sebulan penuh untuk merayakan ulang tahun Kongco Ho Tek Tjin Sin atau Dewa Bumi.
Klenteng Hok Tek Bio merupakan salah satu tengara eksisnya pecinan di Salatiga. Kapan klenteng ini berdiri, belum ada yang bisa menjelaskan. Namun, yang pasti prasasti marmer beraksara Cina telah mengisahkan pemugaran klenteng ini pada 1872.
Berbicara soal pecinan dan klenteng Salatiga, tak eloklah apabila tidak mencecap penganan enting-enting gepuk cap “Klenteng & 2 Hoolo”. Saya membeli beberapa bungkus sekedar untuk oleh-oleh. Kemasannya unik, dibungkus kertas roti dengan mengabadikan gambar klenteng Hok Tek Bio yang diapit dua hoolo atau botol arak Cina bertuliskan “Khoe”. Siapakah dia?
Khoe Tjong Hok, lelaki kelahiran Fukkian sekitar 1880, tinggal dan mengabdikan diri sebagai penjaga klenteng Hok Tek Bio sejak 1920-an. Dia membuat enting-enting gepuk di dapur klenteng dibantu anak-anaknya untuk dijual pikulan keliling Salatiga. Setelah Khoe Tjong Hok wafat pada 1971, dapur usahanya pindah ke seberang klenteng supaya tidak mengganggu kegiatan ibadah. Dapur itu kini menjelma deretan toko keluarga Khoe Tjong Hok yang menjadi pusat buah tangan khas Salatiga.
Di depan toko keluarga Khoe itu, kembali Bagong tampak termangu menanti perjalanan pelancong berikutnya. Seperti hari kemarin, dia mengajak berdokar ria mengelilingi Salatiga seraya melestarikan wahana tradisional. Barangkali, kota ini selalu menebarkan kesan mendalam bagi siapa saja yang pernah menyinggahinya. Soekarno pun pernah berujar, ”Suwe ora jamu. Jamu pisan jamu kapulaga. Suwe ora ketemu. Ketemu pisan nang Salatiga.”
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR