Nationalgeographic.co.id—Keteplak...keteplok...keteplak...keteplok... Bagong, kuda penarik dokar yang saya tumpangi, meniti malam bergerimis di tangsi militer tua tanpa penerangan jalan. Veteran Ngeblok, demikian warga Kota Salatiga menjuluki seruas jalan itu lantaran dihuni para legiun pensiunan tentara. Sepinya malam membuat tengara sepatu Bagong kian membahana. Kalau boleh diumpamakan, perjalanan malam itu lebih mirip latar film horor Indonesia 1980-an.
Sejatinya kita bisa melancongi Salatiga dengan angkot, becak, dokar—atau jalan kaki karena pusat kota tak terlampau luas. Namun, seiring matahari terbenam, angkot-angkot pun turut terbenam dari sudut-sudut kota. Yang perlu diingat, bahwa jalanan kota di pinggang Merbabu ini dihiasi tanjakan dan turunan, jadi pastikan kita menggunakan moda transportasi yang tepat. Pengalaman hari pertama, saya meluncur dengan becak yang tak terkendali di jalan menurun tengah kota!
Perkembangan Salatiga tidak bisa dilepaskan dari peran sebagai kota garnisun pada pertengahan abad ke-18. Usai Geger Pacinan, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron von Imhof melakukan ekspedisi melancong perdananya ke Semarang-Ungaran-Salatiga-Surakarta. Langkah berikutnya, jalur logistik militer itu diamankan dengan menempatkan garnisun dan pertahanan benteng. Belakangan, keberadaan benteng acap kali dihubungkan dengan kemunculan suatu kota, kawasan pecinan dan pasar.
Litografi kuno karya Joseph Jeakes, perupa asal Inggris yang masyhur awal abad ke-19, melukiskan keadaan Fort Hersteller di Salatiga. Jeakes menorehkan sebuah bangunan kokoh bermenara pengawas. Di depannya terhampar tanah lapang menghijau. Nun jauh, terlihat latar pegunungan Telomoyo di sisi barat daya kota ini. Namun Jeakes bukanlah orang pertama yang membuat lukisan benteng itu. Akhir abad ke-19, Johannes Rach, seorang seniman asal Denmark, membuat skesta pemandangan benteng yang menandai peradaban Kota Salatiga.
“Benteng di Salatiga dihancurkan oleh Belanda sendiri,” ungkap Eddy Supangkat, “Saya mengiranya benteng itu dulu di daerah yang sekarang kompleks batalion Kostrad,” satu kawasan dengan Veteran Ngeblok. Supangkat adalah pemerhati bangunan kolonial di Salatiga yang juga penulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama dan Galeri Salatiga.
Hingga hari ini, nasib bangunan-bangunan tua yang menjadi penanda zaman kota ini pun kian tergilas pembangunan kota. Menurut Supangkat dalam sepuluh tahun terakhir ini Salatiga kehilangan 77 bangunan tuanya. Jadi rata-rata dalam setahun 7 hingga 8 bangunan tua lenyap.
Atas kemirisan itulah Supangkat bertekad menyelamatkan sisa pesona kotanya melalui forum warga yang peduli benda cagar budaya. Dia juga bergiat menularkan kecintaan akan kotanya dengan membesut kaos-kaos yang membekukan keindahan Salatiga tempo dulu.
Kota terindah seantero Jawa Tengah. Demikian panggilan kesayangan untuk Salatiga, setidaknya sebelum runtuhnya imperium Hindia Belanda. Tampaknya sebutan itu masih lekat di benak warga sebagai sesuatu yang terlalu indah untuk dilupakan–meski hingga kini tak satu pun penghargaan Adipura diraih kota ini. Banyak fasilitas publik tinggalan Hindia Belanda masih bermanfaat, seperti bangunan perkantoran pemerintah dan militer, rumah dinas, tempat ibadah, dan beberapa sekolah.
Jalan Diponegoro, seruas jalan utama dengan rumah-rumah tinggal awal abad ke-20 itu menunjukkan tilas permukiman Eropa. Ruas jalan lainnya yang menentukan denyut kota adalah Jalan Sudirman. Kedua ruas jalan ini bertemu di Bunderan Tamansari, jantung kota Salatiga, sekaligus sudut terindah karena kita dapat menikmati anggunnya Merbabu.
Di sekitar Bunderan Tamansari ada beberapa tempat menarik. Di hulu Jalan Sudirman, kita akan menjumpai GPIB Tamansari, sebuah gereja yang dibangun pada 1823. Meskipun dihimpit sebuah mal, bangunan ini masih memesona dengan dekorasi jendela gotik dan rumah lonceng di atas bangunan pintu masuknya. Di dalamnya hanya tersisa beberapa bangku dari zaman kolonial. Namun, para pengurus gereja ini berusaha mempertahankan suasana interior gereja dengan membuat replika bangku-bangku tersebut.
Tepat di seberang gereja dan bunderan, tampak dua rumah indis yang berlatar Merbabu: satu rumah berpilar besi tempa dengan beranda luas dan rumah lainnya berpilar putih gaya tuskan. Kedua rumah yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-19 ini dulunya rumah tinggal asisten residen, kini sebagai kompleks rumah dinas walikota Salatiga.
Sebuah inskripsi yang baru diresmikan pada 1997 oleh duta besar Prancis terpampang di teras rumah itu. Inskripsi itu menjadi pengingat bahwa penyair besar Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-91), pernah berjejak di Salatiga dari 2 sampai 15 Agustus 1876.
Dunia memang mengenal Rimbaud sebagai seorang penyair kampiun yang berpengaruh besar pada sastra modern, sekaligus pelancong yang sudah mengencani tiga benua. Singkat cerita, pemuda yang tak punya bakat di bidang militer itu mendaftar sebagai serdadu Hindia Belanda. Dia tercatat bergabung dengan batalion infanteri di Batavia, lalu bersama kesatuannya berlayar ke Semarang. Perjalanan berlanjut dengan kereta dari Kedungjati hingga Tuntang, lalu jalan kaki ke tangsi militer Salatiga. Sebagai seorang pelancong, tentunya Rimbaud terbiasa dengan perjalanan panjang ini.
Namun, kurang dari dua minggu di tangsi Salatiga, Rimbaud dikabarkan hilang saat apel. Memang tak ada informasi soal bagaimana cara sang penyair muda itu melarikan diri dari tangsi militer. Yang jelas, sekitar empat bulan kemudian dia telah berada di rumah keluarganya di Prancis.
Kalau Rimbaud pernah bersyair “Love has to be reinvented, that is clear”, mungkin itulah yang dialami oleh Soekarno tatkala bersantap di rumah dinas walikota Salatiga, suatu siang pada 1952. Di rumah inilah si Bung Besar menemukan cintanya yang ke empat usai menyantap lodeh buatan seorang janda muda, Hartini. Dua tahun berikutnya si Bung pun meminang Hartini. Kelak, perkawinan ini pula menyebabkan Fatmawati hengkang dari istana.
Kebetulan rumah Hartini berada tak jauh dari rumah dinas walikota. Saya beranjak lalu menyeberangi Jalan Diponegoro untuk bertandang ke bekas rumah Hartini itu. Meskipun kini pemilik rumah bukan keluarga Hartini atau Soekarno, rumah berlanggam arsitektur era 1930-an itu hingga kini masih tampak asri seolah tak terpengaruh riuhnya dinamika kota.
Mungkin Salatiga telah ditakdirkan sebagai tempat persinggahan para pemuja keindahan, seperti Rimbaud dan Soekarno. Hanya saja, di Salatiga Rimbaud merasa sangat tak kerasan, sedangkan Soekarno merasa sangat kasmaran.
Suatu senja di pecinan yang memudar. Saya tertegun pada sebuah rumah sekaligus toko buah-buahan yang menurut saya berarsitektur unik, campuran Cina-Hindia-Eropa. Atapnya bergaya pelana khas Cina. Dekorasi fasad depannya berupa mosaik porselen yang mengapit tulisan ”Anno 1912” dan patung elang yang menatap tajam sembari mengepakkan sayapnya kepada siapa saja yang melintasi Jalan Semeru.
Di sinilah sepetak pecinan lama Salatiga, yang pada awalnya membangun peradaban di seberang utara tangsi militer, kini sekitar Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sudirman. Tak heran pula apabila di Jalan Sudirman terdapat Pasar Kota Salatiga yang menggelumat sejak jelang subuh. Bayangkan, dari pasar sayuran hingga pasar loak tersedia di sini.
Ketika menyusuri ruas Jalan Sukowati, saya menghentikan langkah tepat di depan klenteng tua Hok Tek Bio. Riuh cengceng, terompet cina, dan tambur berpadu. Ternyata siluman kerbau hijau membuat huru hara di negeri Tong Tiauw. Sebuah pertunjukan wayang potehi tengah digelar selama sebulan penuh untuk merayakan ulang tahun Kongco Ho Tek Tjin Sin atau Dewa Bumi.
Klenteng Hok Tek Bio merupakan salah satu tengara eksisnya pecinan di Salatiga. Kapan klenteng ini berdiri, belum ada yang bisa menjelaskan. Namun, yang pasti prasasti marmer beraksara Cina telah mengisahkan pemugaran klenteng ini pada 1872.
Berbicara soal pecinan dan klenteng Salatiga, tak eloklah apabila tidak mencecap penganan enting-enting gepuk cap “Klenteng & 2 Hoolo”. Saya membeli beberapa bungkus sekedar untuk oleh-oleh. Kemasannya unik, dibungkus kertas roti dengan mengabadikan gambar klenteng Hok Tek Bio yang diapit dua hoolo atau botol arak Cina bertuliskan “Khoe”. Siapakah dia?
Khoe Tjong Hok, lelaki kelahiran Fukkian sekitar 1880, tinggal dan mengabdikan diri sebagai penjaga klenteng Hok Tek Bio sejak 1920-an. Dia membuat enting-enting gepuk di dapur klenteng dibantu anak-anaknya untuk dijual pikulan keliling Salatiga. Setelah Khoe Tjong Hok wafat pada 1971, dapur usahanya pindah ke seberang klenteng supaya tidak mengganggu kegiatan ibadah. Dapur itu kini menjelma deretan toko keluarga Khoe Tjong Hok yang menjadi pusat buah tangan khas Salatiga.
Di depan toko keluarga Khoe itu, kembali Bagong tampak termangu menanti perjalanan pelancong berikutnya. Seperti hari kemarin, dia mengajak berdokar ria mengelilingi Salatiga seraya melestarikan wahana tradisional. Barangkali, kota ini selalu menebarkan kesan mendalam bagi siapa saja yang pernah menyinggahinya. Soekarno pun pernah berujar, ”Suwe ora jamu. Jamu pisan jamu kapulaga. Suwe ora ketemu. Ketemu pisan nang Salatiga.”
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR