Nationalgeographic.co.id—Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, banyak kalangan orang Hindia Belanda sendiri tidak mau mengakui kemerdekaan itu dan lebih mempercayakan pemerintah di tangan Belanda.
Selain mereka lebih memilih setia pada Ratu, kondisi yang berkecamuk menjelang dan pasca kemerdekaan membuatnya memilih untuk migrasi ke Belanda.
Bukan karena pilihan, kebanyakan yang berpindah ke Belanda berasal dari kalangan KNIL, yang mayoritas adalah orang Maluku. Lembaga militer tanah koloni ini telah berdiri sejak abad ke-19 dan dikenal dengan kesetiannya pada Belanda.
Prajurit ini digunakan Belanda untuk menancapkan kembali koloninya di Indonesia setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia. Pandangan ini membuat orang Maluku dipandang sebagai pengkhianat dan disamakan dengan orang Belanda yang menjajah.
Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949 atas tekanan internasional. Lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) Indonesia dibuat dengan bentuk serikat agar memiliki otonomi tertentu, yang salah satunya adalah Republik Maluku Selatan (RMS).
Sebenarnya Mantan Perdana Menteri Belanda Pieter Sjoerds Gerbrandy berjanji kepada Maluku Selatan, agar mewujudkan kedaulatan merdeka Maluku Selatan.
Halaman berikutnya...
"Berulang kali janji-janji dibuat secara pribadi ke Ambon sebelum penyerahan keddaulatan dari pihak menteri Belanda, dalam arti bahwa mereka (Maluku Selatan) dapat dengan bebas menentukan nasib mereka," tulisnya dalam surat. Tapi ketika RMS memproklamasikan diri pada April 1950, Belanda tidak mengakuinya, seolah tidak memenuhi janji.
Kondisi itu juga digambarkan oleh De Volkskrant edisi 13 Desember 1975 yang menulis, "Pada tahun 1940-an, Maluku Selatan dimanfaatkan oleh Belanda dalam kebijakan terkutuk terhadap para pejuang kemerdekaan Indonesia atas Soekarno. Janji-janji yang tidak dapat dipenuhi setelah kebangkrutan kebijakan Indonesia. Orang Maluku Selatan kemudian berakhir dalam sitausi tanpa harapan."
Tak lama dari proklamasi RMS, Soekarno membubarkan RIS. 28 September, tentara Indonesia menyerbu Maluku, dan kepala negaranya Chris Soumokil dieksekusi. Sementara, janji kebebasan Maluku oleh Belanda tidak diwujudkan pula dengan menyediakan KNIL di sana. Orang-orang KNIL akhirnya mendapatkan jabatan sebagai Tentara Kerajaan Belanda (KNL) dan diperintah untuk pergi ke Belanda bersama kerabatnya.
Melansir dari Trouw tanggal 22 Maret 1951, sebanyak 12.500 orang dikabarkan berlabuh di Belanda dengan kapal Kota Inten.
Baca Juga: Reka Ulang 'KNIL Vakantie': Menekuri Raut Sejarah dari Sisi Berbeda
"Dalam cuaca buruk dan suram, di bawah hujan es dan hujan salju basah, pendaratan kapal pasukan [KNIL Maluku] Kota Inten dimulai pukul 8 pagi ini, Lloykade di Rotterdam," tulis berita tersebut.
Setelah mendarat, ternyata usai Perang Dunia II, ternyata negeri kincir angin itu sedang kekurangan pemukiman. Akibatnya, mayoritas dari pendatang Maluku terpaksa tinggal di bekas kamp konsentrasi seperti Kamp Vught di Vught dan Kamp Westerbork di Hooghalen. Kediaman KNIL Maluku di kamp itu juga dibuat secara struktural, seperti lembaga gereja, perkumpulan, dan komisariat dewan kamp seperti Commissariaat Ambonezen Zorg (CAZ).
Mereka berpikir masalah di kampung halamannya akan usai, dan persinggahan ini hanya sejenak karena kondisi di sana sedang carut-marut. Tetapi para KNIL Maluku dan kerabatnya di Belanda tidak kunjung kembali ke Maluku. Sementara mereka merindukan atas Maluku yang merdeka seperti janji Belanda sebelumnya.
Baca Juga: De Voormoeders: Kisah Nenek Sejarawan Suze Zijlstra di Hindia Belanda
Kekecewaan besar pada pemerintah Belanda muncul ketika ddatang surat pemecatan. Kabar itu langsung beredar dengan cepat oleh mantan prajurit KNIL Maluku yang mengakibatkan ketidakpercayaan sangat besar terhadap pemerintah.
Mereka melakukan protes pada 26 November 1951 kepada pengadilan militer, menuntut pembatalan pemecatan. Centrale Raad van Beroep (Dewan banding Pusat) mengajukan banding tahun 1952, menganggap dinas sipil militer tidak memiliki yurisdiksi untuk memerintah. Ujungnya, pembatalan tetap berjalan, meski orang Maluku menganggapnya sebagai tindakan ilegal.
Kekecewaan itu membuat teror bermunculan, seperti tujuh orang Maluku bersenjata yang sempat melakukan pembajakan kereta api di Wijster, dan dilanjutkan dengan menyerang KBRI di Amsterdam, tahun 1970-an.
Baca Juga: Belanda Sudah Meninggalkan Hukuman Mati, Kecuali untuk Hindia Belanda
Gordon Kerr dan Phil Clarke di buku Hostages: Dramatic Accounts of Real-Life Events, mereka menuntut agar tahanan politik Maluku Selatan dibebaskan, dan mengadakan pertemuan antara presiden Indonesia Suharto dengan pimpinan Maluku.
Namun beberapa kali dibuat tunduk dan janji-janji yang tak kunjung dipenuhi, mereka perlahan terbiasa menjadi warga negara Belanda. Sementara pada 2017, para KNIL Maluku mendapat sambutan resmi dari Inspektur Jenderal Angkatan Bersenjata Belanda, dan diperiksa agar mendapatkan status veteran secara resmi.
Hal itu baru terwujudu pada 2020, dengan memberikan kompensasi finansial dan bantuan kepada mereka. Diperkirakan adda 200.000 euro per orangnya yang mendapat bantuan dari Kerajaan Belanda, dan mendapat status pengakuan veteran.
Tetapi, masyarkat Maluku di Belanda masih berharap pemerintah Belanda meminta maaf atas penderitaan yang menimpa mereka, yang rencananya akan diadakan 2022 mendatang.
Baca Juga: Pesawat Celaka, Sang Panglima KNIL dan Warga Tewas Bersama di Kemayoran
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | berbagai sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR