Begitu juga banyak anak-anak yang telah lahir dan selamat dari peristiwa mengerikan jatuhnya bom nuklir yang menghancurkan, menjadi korban kemiskinan, kekurangan gizi, dan diskriminasi hingga hari ini.
Baca Juga: Andai Dunia Saling Bertoleransi, Tak Ada Bencana Nuklir yang Terjadi!
"Anak-anak harus berjalan sejauh puluhan kilometer untuk mencari tempat yang aman dan mendapat pertolongan, dalam kondisi menangis karena kesakitan, ketakutan dan kesepian (kehilangan orang tua mereka)," ungkap kesaksian Sachiko Matsuo kepada Time.
Para penyintas bom atom Nagasaki dan Hiroshima mengungkapkan kesaksiannya kepada Time dalam artikel berjudul After The Bomb: Survivors of The Atomic Blasts In Hiroshima and Nagasaki Share Their Stories, publikasi tahun 2014.
"Ayahku menyelamatkanku, membuatku terhindar dari kematian atau luka bakar yang mungkin saja menghancurkan hidupku hari ini," tambahnya.
"Lima puluh tahun kemudian, saya bermimpi tentang ayah saya untuk pertama kalinya sejak kematiannya. Dia mengenakan kimono dan tersenyum, sedikit sekali. Meskipun kami tidak bertukar kata, saya tahu pada saat itu bahwa dia aman di surga," tutup Matsuo.
Beberapa kejadian mengerikan juga menimpa anak-anak kecil yang selamat hingga hari ini, meskipun beberapa hal dalam hidupnya menjadi cacat. Seperti yang diungkapkan oleh Yasujiro Tanaka kepada Time.
"Saat itu, saya berusia tiga tahun. Saya tidak ingat banyak, tetapi saya ingat bahwa lingkungan saya berubah menjadi putih menyilaukan, seperti jutaan lampu kilat kamera meledak sekaligus. Lalu, menjadi gelap gulita," katanya.
Baca Juga: 75 Tahun Berlalu, Bagaimana Kronologi Serangan Bom Atom di Hiroshima?
"Saya terkubur hidup-hidup di bawah rumah, kata paman saya. Ketika paman saya menemukan saya dan menarik tubuh mungil saya yang berusia tiga tahun keluar dari bawah puing-puing, saya tidak sadarkan diri. Wajahku cacat. Dia yakin saya sudah mati," tambahnya.
"Keropeng misterius mulai terbentuk di sekujur tubuh. Saya kehilangan pendengaran di telinga kiri saya, mungkin karena ledakan udara. Lebih dari satu dekade setelah pengeboman, ibu saya mulai melihat pecahan kaca tumbuh dari kulit saya," imbuhnya.
"Adik perempuan saya menderita kram otot kronis hingga hari ini, selain masalah ginjal yang membuatnya menjalani cuci darah tiga kali seminggu. Saat pengeboman, dia masih dalam kandungan," lanjutnya.
"Saya dan adik selalu berkata,'sebenarnya apa salah kami? mengapa orang-orang Amerika (Serikat) tega membuat kami menjadi seperti ini?'," pungkasnya. Kisah pilu menyelimuti nasib para anak saat pengeboman terjadi.
Source | : | Time,RERF Foundation |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR