Nationalgeographic.co.id—Peristiwa mengerikan terjadi di hari senin yang cerah, saat para penduduk Hiroshima telah memulai aktivitasnya. Semuanya seketika berubah, pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15 pagi waktu Hiroshima, bom seberat 4 ton dijatuhkan.
Ledakan hebat dan kehancuran terjadi. Radiasi dalam jangkauan yang luas memberikan imbas mengerikan kepada penduduk kota. Warga Hiroshima telah menjadi korban keganasan bom nuklir.
Selang 3 hari berikutnya, di hari kamis, 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan. Amerika Serikat menginginkan tujuan politiknya tercapai, saat Jepang menyatakan menyerah pada Perang Dunia Kedua.
Kepentingan politik itu hanya memberikan dampak terburuk sepanjang sejarah kemanusiaan. Sekitar 140.000 penduduk Hiroshima tewas, dan sekitar 74.000 penduduk Nagasaki tewas karena keganasan bom.
Nahas, beberapa diantaranya menyebabkan dampak pada sejumlah ibu hamil dan anak-anak yang sangat berpengaruh pada kehidupannya di masa depan. Banyak yang ibu hamil yang mengalami keguguran dan anak-anak yang menjadi yatim piatu.
Baca Juga: Kisah Yoshiko Kajimoto, Penyintas Bom Atom Hiroshima, Jepang
"Tidak ada peningkatan yang signifikan secara statistik, tetapi yang utama adalah berdampak pada cacat lahir atau hasil dari kehamilan yang tidak diinginkan lainnya, terlihat di antara anak-anak yang selamat, terlahir cacat," tulis laporan penelitian RERF.
Radiation Effect Research Foundation (RERF) melaporkan dampak dari ledakan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, dalam kajiannya berjudul Birth Defects among the Children of Atomic-bomb Survivors (1948-1954).
Pemantauan dilakukan pada hampir semua ibu hamil di Hiroshima dan Nagasaki yang dimulai pada tahun 1948 dan terus berlanjut selama enam tahun.
"Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir, dilakukan selama dua minggu pertama setelah kelahiran. Hal itu memberikan informasi tentang berat badan bayi, prematuritas, rasio jenis kelamin, kematian neonatal, dan cacat lahir," tambahnya.
"Selain itu, beberapa bayi yang lahir secara normal, membawa penyakit akut dalam tubuhnya dan suatu waktu akan muncul, pada umumnya saat mereka mulai tumbuh dewasa, atau yang tak berumur panjang," pungkasnya.
Begitu juga banyak anak-anak yang telah lahir dan selamat dari peristiwa mengerikan jatuhnya bom nuklir yang menghancurkan, menjadi korban kemiskinan, kekurangan gizi, dan diskriminasi hingga hari ini.
Baca Juga: Andai Dunia Saling Bertoleransi, Tak Ada Bencana Nuklir yang Terjadi!
"Anak-anak harus berjalan sejauh puluhan kilometer untuk mencari tempat yang aman dan mendapat pertolongan, dalam kondisi menangis karena kesakitan, ketakutan dan kesepian (kehilangan orang tua mereka)," ungkap kesaksian Sachiko Matsuo kepada Time.
Para penyintas bom atom Nagasaki dan Hiroshima mengungkapkan kesaksiannya kepada Time dalam artikel berjudul After The Bomb: Survivors of The Atomic Blasts In Hiroshima and Nagasaki Share Their Stories, publikasi tahun 2014.
"Ayahku menyelamatkanku, membuatku terhindar dari kematian atau luka bakar yang mungkin saja menghancurkan hidupku hari ini," tambahnya.
"Lima puluh tahun kemudian, saya bermimpi tentang ayah saya untuk pertama kalinya sejak kematiannya. Dia mengenakan kimono dan tersenyum, sedikit sekali. Meskipun kami tidak bertukar kata, saya tahu pada saat itu bahwa dia aman di surga," tutup Matsuo.
Beberapa kejadian mengerikan juga menimpa anak-anak kecil yang selamat hingga hari ini, meskipun beberapa hal dalam hidupnya menjadi cacat. Seperti yang diungkapkan oleh Yasujiro Tanaka kepada Time.
"Saat itu, saya berusia tiga tahun. Saya tidak ingat banyak, tetapi saya ingat bahwa lingkungan saya berubah menjadi putih menyilaukan, seperti jutaan lampu kilat kamera meledak sekaligus. Lalu, menjadi gelap gulita," katanya.
Baca Juga: 75 Tahun Berlalu, Bagaimana Kronologi Serangan Bom Atom di Hiroshima?
"Saya terkubur hidup-hidup di bawah rumah, kata paman saya. Ketika paman saya menemukan saya dan menarik tubuh mungil saya yang berusia tiga tahun keluar dari bawah puing-puing, saya tidak sadarkan diri. Wajahku cacat. Dia yakin saya sudah mati," tambahnya.
"Keropeng misterius mulai terbentuk di sekujur tubuh. Saya kehilangan pendengaran di telinga kiri saya, mungkin karena ledakan udara. Lebih dari satu dekade setelah pengeboman, ibu saya mulai melihat pecahan kaca tumbuh dari kulit saya," imbuhnya.
"Adik perempuan saya menderita kram otot kronis hingga hari ini, selain masalah ginjal yang membuatnya menjalani cuci darah tiga kali seminggu. Saat pengeboman, dia masih dalam kandungan," lanjutnya.
"Saya dan adik selalu berkata,'sebenarnya apa salah kami? mengapa orang-orang Amerika (Serikat) tega membuat kami menjadi seperti ini?'," pungkasnya. Kisah pilu menyelimuti nasib para anak saat pengeboman terjadi.
Source | : | Time,RERF Foundation |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR