Nationalgeographic.co.id—Penemuan arkeologi baru di kawasan arkeologi Matariyyah di Mesir telah menyingkap lebih banyak rahasia yang terkait dengan Kota Matahari, Heliopolis. Hal itu disampaikan oleh para arkeolog yang beroperasi di kawasan yang menjadi bekas wilayah ibu kota Mesir kuno tersebut.
Tim arkeolog Mesir-Jerman mengumumkan penemuan baru tersebut pada 5 November 2021. Beberapa penemuan arkeologi yang baru saja mereka dapatkan selama bekerja di situs tersebut adalah bagian fasad barat dan utara kuil Raja Nectanebo I yang memerintah Mesir kuno antara tahun 380-363 Sebelum Masehi. Fasad kuil itu terletak di pusat Kuil Agung Heliopolis di Matariyyah, timur Kairo.
Dikutip dari Al-Monitor, Heliopolis merupakan ibu kota paling kuno di dunia. Kota ini merupakan pusat agama, ilmiah, dan filosofis paling kuno sebelum Mesir bersatu sekitar tahun 3100 Masehi.
Misi arkeologi telah dilakukan di kawasan bekas kota Heliopolis ini selama sekitar 15 tahun. Misi ini telah menemukan banyak blok basal yang diukir dengan nama-nama bagian Mesir Hilir, termasuk blok-blok yang mewakili nama-nama Heliopolis, di samping blok-blok nama-nama lain di Mesir Hilir.
Penemuan blok-blok basal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Tertinggi Kepurbakalaan Mesir, Mustafa Waziri, dalam sebuah pernyataan. Dalam pernyataan tersebut juga disebutkan bahwa Dietrich Rau, ketua tim arkeologi Jerman, mengatakan bahwa bagian barat poros utama Kuil Nectanebo kini sedang dipelajari.
Tim arkeolog juga menemukan bagian-bagian dari patung Ramses II, bagian dari patung babun, alas dan bagian dari obelisk kuarsit dari masa pemerintahan Firaun Osorkon I (925-890 Sebelum Masehi), dan bagian dari barang-barang ibadah seperti meja persembahan untuk Firaun Thutmosis III (1479-1425 Sebelum Masehi), menurut pemaparan Rau. Penemuan ini mengungkapkan bukti adanya aktivitas raja-raja dari Dinasti ke-13 dan era Ptolemeus di wilayah ini pada masa lampau.
Halaman berikutnya...
Source | : | Al-Monitor |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR