"Bung Karno lalu berkata, "Pek atuh tuluykeun." (Coba teruskan lagi)."
Kegemaran Bung Karno akan wayang berlangsung sejak kecil. Di masa kanak-kanak, beliau sering dibawa ayahnya nonton wayang. Dari kisah wayang banyak ditarik pelajaran. Ide kesejahteraan dan kesentosaan negara, ide sosialisme Indonesia, beliau gali antara lain dari kisah wayang. Kalau di Istana ada pertunjukan wayang, Bung Karno nonton dari pukul 20.00 sampai pukul enam pagi. Pidato-pidatonya banyak sekali dimeriahkan oleh kutipan-kutipan ki dalang. Terhadap Tunku Abdurahman Putera beliau berkata, "Iki dadaku, endi dadamu. (ini dadaku, mana dadamu)."
Desember 1929 Bung Karno dan kawan-kawan ditangkap, Agustus 1930 mulai pemeriksaan di depan Pengadilan Negeri Bandung, tetapi keputusan baru jatuh pada 22 Desember 1930. Bung Karno dijatuhi hukuman empat tahun, Gatot Mangkupradja dua tahun, Maskun satu tahun delapan bulan, dan Supriadinata satu tahun tiga bulan.
Namun sehabis dijatuhkannya keputusan hukuman tersebut, Bung Karno tetap merasa gembira. Kepada pemuda Maskun beliau malah berkata, "Kalau sudah bebas kelak, kita bangun pergerakan yang lebih hebat lagi." Yang menyedihkan beliau ialah berita pecahnya pergerakan nasional yang sudah mulai beliau bimbing persatuannya.
Para terhukum dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Setibanya di sana, mereka menerima pembagian pakaian penjara; dua stel warna biru, satu pasang sepatu putih, dan kelom. Semuanya ditempatkan di tahanan bangsa Eropra, karena dinilai sebagai orang terpelajar.
Bung Karno bekerja di bagian mesin, kemudian pindah ke bagian administrasi. Pak Maskun bagian menghitung buku tulis dan Pak Gatot bagian tinta. Dalam penjara tersebut pemuda Maskun merupakan pemain sepak bola sekaligus pemain musik yang disegani. Bung Karno tidak mempunyai hobi olahraga. Paling-paling tarik-tarik treksendo. Seluruh waktu luangnya beliau pergunakan untuk membaca dan mengajar ketiga orang muridnya.
Rahasia pidato Bung Karno
Menurut Maskun, selama dalam penjara Bung Karno mematangkan ide-ide politiknya. Ide persatuan nasional, ide Pancasila menurut Pak Maskun sudah diajarkan oleh Bung Karno sejak kursus kader pertama. Malah sejak mereka masih duduk di bangku sekolah HBS, persoalan tersebut sudah menjadi buah pikiran Bung Karno.
Bahwa Bung Karno seorang orator, semua orang tahu. Dari zaman mudanya beliau tak pernah menulis pidato. Hanya pidato 17 Agustus yang dia tulis. Ditulis tangan, bukan diketik. Dari dulu Bung Karno tidak suka mengetik. Pidato 17 Agustus dan amanat-amanat penting lainnya disiapkan di tempat sunyi. Tempat itu adalah Istana Tampaksiring, Bali.
Menurut Darmosoegondo, di malam hari sekitar pukul 21.00 beliau keluar. Lalu dipandangnya bintang-bintang di langit sampai beliau temukan satu bintang besar yang paling bercahaya. Bintang tersebut ditatapnya dengan tajam, seraya hatinya memanjatkan doa kepada Tuhan untuk mencari suatu ilham. Lalu dia bayangkan rakyat banyak. Mulailah beliau berdialog dengan rakyat. Barulah ditulis.
Dalam amanat 17 Agustus 1963 Bung Karno mengungkapkan sedikit rahasia penulisan amanatnya, "Saya menulis pidato ini sebagaimana bisa dengan perasaan cinta yang meluap-luap terhadap Tanah Air dan Bangsa, tetapi ini kali dengan perasaan terharu yang lebih dari biasa terhadap keuletan Bangsa Indonesia dan kekaguman yang amat tinggi terhadap kemampuan Bangsa Indonesia. Dengan terus-terang saya katakan di sini, bahwa beberapa kali saya harus ganti kertas, oleh karena air mataku kadang-kadang tak dapat ditahan lagi tiap kali saya mempersiapkan pidato 17 Agustus lantas menjadi seperti dalam keadaan keranjingan. Segala yang gaib dalam tubuh saya lantas meluap-luap, emosi meluap-luap. Seluruh alam halus di dalam tubuh saya ini lantas seperti menggetar dan berkobar dan menggempar, dan bagiku api lantas seperti masih kurang panas, samudra lantas seperti masih kurang dalam, bintang di langit lantas sperti masih kurang tinggi."
Maskun melukiskan isi amanat Bung Karno selamanya geweldig, imposant (hebat, mengesankan –Red.) seperti pilar-pilar beton, dan meriam.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR