Sebagai pusat religi Hindu, ada lima kelompok candi di Dieng, yakni Kelompok Candi Arjuna, Gatotkaca, Bima, Dwarawati, dan Maersari. Ada pula sisa bangunan Darmacala, yakni lokasi peristirahatan dan tempat penyiapan perlengkapan upacara bagi para peziarah.
Arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jajang Agus Sonjaya, menyatakan, Dieng merupakan pusat pendidikan keagamaan dan arsitektur. Para peziarah ke Dieng kala itu bukan hanya berasal dari Nusantara, melainkan juga negeri lain, salah satunya India. Salah satu jejaknya adalah Arca Kudu di Candi Bima yang lekat dengan corak seni patung India.
Dari riset UGM bekerja sama dengan National University of Singapore, didapati bukti aktivitas perdagangan pada abad ke-9 Masehi. Benda yang ditemukan adalah kaca dan keramik dari masa Dinasti Tang. Peneliti mendapati keramik itu sama dengan keramik yang ditemukan di kapal yang tenggelam di perairan Belitung.
Candi-candi ini pertama kali ditemukan oleh HC Cornelius, arkeolog Inggris, pada 1814. Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng Gutomo mengatakan, belum seluruh benda purbakala di Dieng ditemukan. Dari peta arkeologi Belanda tahun 1931, persebaran candi cukup luas. Tidak hanya di wilayah datar, juga perbukitan. Terbukti, pada 2014, ditemukan dua bangunan candi di Bukit Pangonan di sisi tenggara kompleks Candi Arjuna.
Kaldera gunung purba
Dalam buku Dieng Poros Dunia: Menguak jejak Peta Surga yang Hilang (2004), Otto Sukatno menyebutkan, kini jejak masyarakat Hindu sudah tidak didapati di Dieng. Dari risalah Babad Dieng, pada abad ke-8 Masehi terjadi pralaya atau bencana. Saat itu, terjadi banjir besar akibat tertutupnya Kali Tulis sehingga candi-candi terendam air. Peristiwa ini membuat umat Hindu meninggalkan Dieng menuju Tengger, Bromo, dan Bali.
Kendati demikian, masyarakat Muslim Jawa yang kemudian mendiami Dieng tetap membiarkan candi-candi berdiri. "Warga menjadikan candi sebagai kekayaan yang tidak dimiliki setiap daerah," ujar Alif Rahman, tokoh pemuda Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur.
Selain Hindu dan Islam, Dieng juga kental dengan nuansa Jawa kuno.
Keindahan alam Dieng yang melahirkan peradaban manusia tak terlepas dari kesuburan tanahnya yang merupakan kaldera bekas gunung api purba. Berdasarkan penelitian Sukhyar (1986), Dieng terbentuk dari gunung api purba yang mengalami dislokasi. Di bagian yang amblas, muncul sejumlah gunung, di antaranya Gunung Pakuwaja, Gajahmungkur, Pangonan, Alang, Nagasari, dan Panglimunan.
Evolusi gunung purba Dieng juga memunculkan danau-danau vulkanik, seperti Telaga Warna, Telaga Merdada, dan Telaga Pengilon. Eksotismenya berpadu dengan beberapa kawah aktif, di antaranya Timbang, Sinila, Sileri, Sikidang, dan Candradimuka.
Proses geologi dan jejak sejarah Dieng telah mewariskan peradaban yang melintas zaman. Lewat festival budaya, masyarakat Dieng coba merawat peradaban itu guna menjaga kearifan kehidupan manusia dan alam sekitar.
__________________________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2015, di halaman 24 dengan judul "Harmoni di Negeri Para Dewa".
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR