Namun berkat hubungan Amabel dengan para sastrawan London, banyak kaum selebriti yang akhirnya menerima undangan-undangan, termasuk dramawan George Bernard Shaw, novelis HG Wells, arsitek Frank Lloyd Wright dan sutradara Noel Coward (yang terkenal telah menulis karyanya Blithe Spirit di sini pada tahun 1941, setelah meninggalkan London untuk menyelamatkan diri dari pengeboman pesawat pembom Nazi Jerman).
Ketika Edward, Prince of Wales –saat itu mungkin dialah orang yang paling terkenal– datang berkunjung di tahun 1943, William-Ellis menambahkan satu layanan pribadi ke salah satu kamar hotelnya dan untuk sementara menaikkan tarif masuk ke desa itu sebesar £1 untuk menekan kunjungan turis harian.
Sampai Perang Dunia II, Portmeirion telah menjadi fenomena visual dan sosial sedemikian rupa sehingga William-Ellis kemudian membeli sebuah hotel di kota pasar Shropshire di Shrewsbury untuk digunakan sebagai rumah untuk mereka yang bepergian dari London.
Ketika orangtua saya dan saya pertama kali datang ke sini sebagai turis harian di tahun 1960, skala biaya masuk yang dikenakan terlihat di dinding tempat pembelian tiket: pembayaran Anda tergantung pada apakah Anda merupakan penduduk, anggota tahunan atau pengunjung harian.
(“Penduduk” maksudnya adalah tamu-tamu yang menginap di resor; tidak ada seorang pun selain William-Ellis, yang memiliki properti di sana).
Bukan karena harga-harga yang selalu mengikuti pasar. Biaya yang harus dikeluarkan dalam sehari dapat tiba-tiba mengalami peningkatan di tengah hari jika desa itu menjadi terlalu hiruk pikuk, padahal William-Ellis menginginkan agar tamu-tamunya merasa santai dan seperti di rumah sendiri.
Untuk semua naluri uniknya sebagai arsitek, William-Ellis benar-benar seorang Inggris yang pragmatis. Dia ingin Portmeirion membiayai sendiri atau dia tidak akan dapat membiayai visinya.
Saat ini Portmeirion selalu sibuk. Dan ketika makan malam formal masih ditawarkan di ruang makan hotel Art Deco, di desa lebih egaliter, skala harga makanan ditiadakan.
Ketika berjalan-jalan dari Unicorn di pagi hari, saya melewati sederetan toko dengan tembok buatan ala Belanda di mana sebuah cafe buka untuk pengunjung harian.
Di luar Balai Kota palsu, botol-botol kosong dibawa keluar secara diam-diam setelah acara pada malam sebelumnya.
Tampaknya mengejutkan bahwa keanehan yang terkenal itu dapat bertahan hingga abad 21 –bahkan menjadi lebih populer dari sebelumnya.
“Desa ini selalu kacau balau,” kata cucu William-Ellis dan direktur Portmeirion, penulis Robin Llywelyn, pada saya saat minum kopi.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR