Dibangun pada tahun 1920 di muara berpasir Dwyryd di Wales Utara, di bawah puncak Snowdonia yang megah, bangunan-bangunan Portmeirion ini mencakup keseluruhan gaya: Jacobean dan Gothic, Norwegian dan Regency.
Bangunan-bangunan itu berwarna merah muda dan merah, hijau dan kuning tua. Setiap garis atapnya berbeda-beda dari bangunan di sebelahnya.
Portmeirion yang nyentrik dan campur-aduk adalah salah-satu daya tarik yang paling dikenal di Wales. Dia merupakan suatu proyek seumur hidup dari seorang arsitek yang memiliki hasrat akan keindahan.
Semestinya, mudah bagi desa ini untuk tetap berada dalam peninggalan masa kejayaannya di tahun 1930. Tapi, desa terus melanjutkan perubahan dan berkembang. Jika ada sesuatu yang tetap tentang Portmeirion – selain kecantikannya – itu adalah kemampuannya untuk berubah.
Pertama kali saya datang ke desa itu sebagai siswa sekolah di tahun 1968. Pada saat itu semua yang saya ketahui adalah bahwa desa itu ditampilkan dalam serial televisi tentang agen rahasia Inggris yang aneh, The Prisoner.
Saya jatuh cinta pada Portmeirion saat itu. (Arsitektur) Inggris masih berada dalam tahap yang muram pasca perang; bagi saya tampaknya sangat penting ada orang dewasa di negara ini yang percaya akan keindahan.
Orang itu adalah seorang penduduk Wales bernama Clough William-Ellis, lahir pada tahun 1883.
Dia adalah seorang arsitek otodidak yang sukses –dan dia merasa putus asa pada keterikatan abad 20 terhadap Fungsionalisme dan Brutalisme.
Sekali waktu dia menulis bahwa dia ingin memperlihatkan “bahwa gedung-gedung yang secara tepat ditempatkan sesuai dengan lanskap akan benar-benar dapat memperindah pemandangan.”
!break!
Di tahun 1925, William-Ellis membeli sebuah properti kecil di sudut Snowdonia dan mulai mewujudkan impiannya, membangun di atas sebuah lereng pepohonan yang cantik hingga ke muara.
Di sana sudah ada rumah tuan tanah lokal, yang segera diubahnya menjadi sebuah hotel.
William-Ellis selalu yakin bahwa desanya –yang disebutnya Portmeirion, suatu nama aneh yang diambil dari Merionethshire, salah satu dari 13 wilayah bersejarah di Wales– akan menjadi tujuan wisata.
Di sana ada beberapa bangunan lain juga, umumnya kandang dan lumbung, yang dicat oleh William-Ellis dengan aneka warna yang lebih mementingkan gaya daripada kebutuhannya.
“Cloughed up” menjadi suatu istilah yang modis untuk tekniknya.
Dia melukis jendela-jendela pada fasad di satu pondok, menyambungkan satu patung St Peter ke patung lain.
Pendekatan yang dilakukan sama nakalnya dengan gayanya: dia akan menggambar konsepnya, kemudian membiarkan tukang-tukang bangunannya bekerja mewujudkannya.
Tetapi kebanyakan yang ada di desa itu baru –dalam artian bahwa mereka menggunakan kembali potongan-potongan arsitektur tua yang dapat diselamatkan.
Bertahun-tahun setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II, modernisasi arsitektur telah menghancurkan banyak peninggalan arsitektur Inggris.
William-Ellis mendapatkan potongan-potongan bangunan itu, atau bagian-bagiannya, untuk digunakan kembali –sedemikian rupa sehingga dia menyatakan Portmeirion sebagai “rumah untuk gedung-gedung yang berjatuhan.”
Balai kota tiruannya, misalnya, menggunakan atap dengan ukiran Jacobean yang dibeli arsitek itu dari sebuah rumah yang tinggal menunggu untuk dihancurkan di Flintshire –dan juga mendaur ulang sebuah kuali perebus babi yang dibalik untuk menciptakan mahkota kecil berwarna tembaga di puncak menaranya.
Portmeirion juga bermain secara nakal dengan menggunakan perspektif.
Dalam satu kunjungan di musim semi ini, saya tiba di Unicorn di pondok Palladian berwarna pink milik saya. Saya terkejut bahwa ketika melangkah masuk dari jalanan ke pintu depan ternyata tidak terlalu jauh: fasad Neoclassical yang menempel di bangunan ternyata membawa perspektif berbeda sehingga rumah lebih besar dari jauh, padahal kenyataannya tidak.
!break!
William-Ellis dan istrinya yang juga seorang penulis, Amabel, berharap bahwa desa mereka dapat memberi inspirasi bagi para pelukis.
Akan tetapi para seniman itu tidak pernah datang –mungkin, ironisnya, karena Portmeirion sudah merupakan suatu karya seni.
Namun berkat hubungan Amabel dengan para sastrawan London, banyak kaum selebriti yang akhirnya menerima undangan-undangan, termasuk dramawan George Bernard Shaw, novelis HG Wells, arsitek Frank Lloyd Wright dan sutradara Noel Coward (yang terkenal telah menulis karyanya Blithe Spirit di sini pada tahun 1941, setelah meninggalkan London untuk menyelamatkan diri dari pengeboman pesawat pembom Nazi Jerman).
Ketika Edward, Prince of Wales –saat itu mungkin dialah orang yang paling terkenal– datang berkunjung di tahun 1943, William-Ellis menambahkan satu layanan pribadi ke salah satu kamar hotelnya dan untuk sementara menaikkan tarif masuk ke desa itu sebesar £1 untuk menekan kunjungan turis harian.
Sampai Perang Dunia II, Portmeirion telah menjadi fenomena visual dan sosial sedemikian rupa sehingga William-Ellis kemudian membeli sebuah hotel di kota pasar Shropshire di Shrewsbury untuk digunakan sebagai rumah untuk mereka yang bepergian dari London.
Ketika orangtua saya dan saya pertama kali datang ke sini sebagai turis harian di tahun 1960, skala biaya masuk yang dikenakan terlihat di dinding tempat pembelian tiket: pembayaran Anda tergantung pada apakah Anda merupakan penduduk, anggota tahunan atau pengunjung harian.
(“Penduduk” maksudnya adalah tamu-tamu yang menginap di resor; tidak ada seorang pun selain William-Ellis, yang memiliki properti di sana).
Bukan karena harga-harga yang selalu mengikuti pasar. Biaya yang harus dikeluarkan dalam sehari dapat tiba-tiba mengalami peningkatan di tengah hari jika desa itu menjadi terlalu hiruk pikuk, padahal William-Ellis menginginkan agar tamu-tamunya merasa santai dan seperti di rumah sendiri.
Untuk semua naluri uniknya sebagai arsitek, William-Ellis benar-benar seorang Inggris yang pragmatis. Dia ingin Portmeirion membiayai sendiri atau dia tidak akan dapat membiayai visinya.
Saat ini Portmeirion selalu sibuk. Dan ketika makan malam formal masih ditawarkan di ruang makan hotel Art Deco, di desa lebih egaliter, skala harga makanan ditiadakan.
Ketika berjalan-jalan dari Unicorn di pagi hari, saya melewati sederetan toko dengan tembok buatan ala Belanda di mana sebuah cafe buka untuk pengunjung harian.
Di luar Balai Kota palsu, botol-botol kosong dibawa keluar secara diam-diam setelah acara pada malam sebelumnya.
Tampaknya mengejutkan bahwa keanehan yang terkenal itu dapat bertahan hingga abad 21 –bahkan menjadi lebih populer dari sebelumnya.
“Desa ini selalu kacau balau,” kata cucu William-Ellis dan direktur Portmeirion, penulis Robin Llywelyn, pada saya saat minum kopi.
“Berbagai anggota keluarga sering telah mengejar kepentingan mereka sendiri. Tetapi entah bagaimana ini telah menghasilkan keuntungan jangka panjang untuk Portmeirion.”
Susan William-Ellis, ibu Llywelyn dan anak Clough, mendirikan Portmeirion Pottery, keramik-keramik yang didesain sendiri, di Stoke-on-Trent pada tahun 1960; rangkaian perlengkapan meja Botanic Garden telah menjadi perlengkapan klasik Inggris.
Llywelyn sendiri mengikuti rasa seninya sambil menjalankan Portmeirion, menggelar festival seni dan musik di desa itu pada tahun 2012.
Dia berharap untuk segera memulai festival karya sastra.
“Clough selalu ingin Portmeirion sebagai tempat di mana segalanya dapat terjadi, di mana acara-acara memperoleh tempat, untuk diatur.” kata Llywelyn.
!break!
Akhirnya industri film tertarik Portmeirion setelah bertahun-tahun. Jenis arsitektur Portmeirion telah dibolehkan untuk menjadi latar pembuatan film: Prancis (Brideshead Revisited), Italia tahun 1960 (The Green Helmet), Inggris (Under Suspicion), Italia saat Renaissance (Dr Who), bahkan di Cina (Danger Man).
Tetapi ada dua film seri televisi yang menempatkan Portmeirion dalam imajinasi populer Inggris, yaitu film seri drama sains fiksi tahun 1960an The Prisoner(dengan desa yang membuat pengaturan suasana riang yang menakutkan untuk kisah Kafkaesque), dan Cold Feet yang lebih baru, sebuah seri komedi romantis yang dalam episode terakhirnya di tahun 2003 mengubah Portmeirion menjadi tempat pesta pernikahan di malam hari.
“Clough tidak menyukai ide menjadikan Portmeirion hanya sebagai museum arsitektur,” kata Llywelyn.
“Dia menginginkan sebuah tempat yang dapat menginspirasi orang-orang menjadi kreatif sesuai hak mereka, jadilah seniman, penulis, penyair, musisi, bahkan arsitek –dan seluruh tempat ini menyediakan kesenangan dan membuah orang-orang merasa bahagia.”
Tentu saja desa ini masih selalu membuat saya bahagia dan saya mendapatkan bahwa merupakan hal yang sulit dibayangkan hidup tanpa kunjungan sekali-sekali.
Saya pikir inilah kenapa desa ini memiliki pengaruh yang demikian mendasar, kenyataannya bahwa William-Ellis telah berjuang untuk keindahan ini sepanjang hidupnya, menganggapnya sebagai “keanehan yang penting”.
Dan juga karena keluarganya telah memiliki ide tentang keindahan –dalam bentuk apapun– bahwa Portmeirion akan terus mengubah dirinya dan berjalan dari kuat ke kuat.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR