Jika sedang jalan-jalan di Malioboro, Yogyakarta, mungkin Anda akan melihat produk kerajinan kuningan berupa miniatur sepeda ontel, becak, andong, dan gerobak sapi. Atau juga bel sapi, bel andong, lonceng mungil, gong mini, sampai meriam. Di antara produk kerajinan tersebut boleh jadi adalah produk Walidi Craft dari kampung Purwodinatan, Kelurahan Purwokinanti, Kecamatan Pakualaman, Yogyakarta.
Usaha tersebut dikerjakan turun-temurun dan saat ini sudah sampai pada generasi keempat. Secara operasional kini dijalankan oleh Francisca Rias Firmanniar (28) didukung sang ibu, Aprianingsih (50), yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil di sebuah sekolah kejuruan. Nama Walidi Craft diambil dari generasi kedua keluarga perajin kuningan tersebut. Rias mulai melanjutkan usaha setelah ayahnya, Heri Sampurno, meninggal pada 2012.
Pada setiap generasi, ada perubahan pada produksi. Rias menuturkan, kakek neneknya dulu membuat bokor, tancapan lilin, salib, sibori, piala, dan lonceng. Ayah Rias membuat produk baru berupa suvenir, seperti miniatur sepeda. Rias memberi sentuhan baru dengan memberi warna pada suvenir. Sebelumnya warna praktis adalah warna alami logam kuningan. ”Desain sama, tetapi saya kembangkan dengan memberi warna-warna. Ini terobosan supaya tidak bosen,” kata Rias di rumah produksinya yang tak jauh dari Pura Pakualaman, Yogyakarta.
Harga produk variatif bergantung pada desain, bentuk, dan ukuran. Miniatur sepeda dan becak, misalnya, dijual dengan harga Rp 80.00 sampai Rp 100.00. Tancapan lilin mulai dari harga Rp 15. 000 Sampai Rp 1.500.000. Kemudian, lonceng berupa suvenir berukuran mungil seharga Rp 10.000-an, lonceng pintu dengan harga Rp 50.000-an, dan lonceng gereja yang dipatok harga berdasarkan ukuran berat, yaitu Rp 260.000 per kilogram. Untuk lonceng gereja, Walidi Craft membuat berdasarkan pesanan. Ukuran beragam, mulai dari berat 20 kg dengan diamater 18 inci, sampai ukuran 50 kilogram berdiameter 40 inci.
Wilayah pemasaran sebagian besar di Yogyakarta, kemudian di Jawa Tengah, Jakarta, dan Bali. Produk Walidi dijajakan di tempat-tempat wisata, seperti Borobudur dan Prambanan. Dulu juga di sekitar Keraton Yogyakarta. Akan tetapi, kini sudah tidak diperkenankan, menyusul terbitnya peraturan yang melarang pedagang cendera mata menjajakan dagangan di kawasan tertentu di sekitar Keraton sejak awal tahun lalu. Pelarangan itu berimbas pada penurunan pemasukan perajin kuningan itu sampai 30 persen.
Kini, selain tempat wisata seperti candi-candi, kerajinan Walidi Craft banyak dijumpai di sepanjang jalan Malioboro sebanyak 10-15 lapak. Produk juga dijajakan 20-25 pengasong, tergantung hari ramai wisatawan. Para pengasong biasanya membeli kerajinan langsung ke Walidi Craft. Pemasaran secara langsung dipilih Rias karena perputaran uang akan lebih cepat daripada dijual dengan cara titip jual di toko-toko. ”Kami tidak masuk toko, tidak titip jual di toko, karena lama perputaran uangnya,” kata Rias.
Di luar penjualan langsung, Rias juga menerima pesanan, termasuk pesanan untuk suvenir atau kenang-kenangan dalam acara seperti perkawinan dan perayaan-perayaan pribadi.
Mendadak dan mau belajar
Rias pada awalnya tidak membayangkan akan melanjutkan usaha keluarga yang dikendalikan sang ayah, Heri Sampurno. Ketika ayahnya meninggal, Rias sebagai anak sulung dari empat bersaudara tiba-tiba harus mengambil alih pengoperasian usaha kerajinan. Ketika itu, ia masih kuliah di Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. ”Dulu itu saya punya bayangan bekerja sebagai guru bimbingan dan konseling, he-he-he...,” kata Rias mengenang.
Ketika usaha masih dijalankan oleh sang ayah, Rias ”hanya” kebagian tugas membantu melayani pembeli. Ia ketika itu sama sekali tidak tahu soal pasar dan pemasaran. ”Mendadak, terlalu banyak hal yang harus saya pelajari. Namun, mau enggak mau, ya, saya harus belajar pelan-pelan. Belajar untuk tidak malu bertanya,” kata Rias. Ia tak segan bertukar pikiran dengan sesama wirausaha.
Ilmu bimbingan konseling dari kuliah juga tidak hilang sia-sia. Bimbingan konseling ia terapkan untuk diri sendiri, terutama dalam membangun rasa percaya diri dan pengembangan diri. ”Selama tiga tahun, sikap dan mental saya ditempa, dari tidak tahu apa-apa sampai bisa seperti sekarang ini. Saya menjadi berani dan lebih tenang menghadapi berbagai karakter konsumen.”
Dan, nyatanya, usaha kerajinan Walidi Craft tetap berproduksi dengan omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. Pada hari ramai wisatawan, seperti hari libur, omzet bisa naik dua kali lipat. ”Kunci saya dalam menjalankan usaha itu mencintai pekerjaan sehingga setiap harinya punya semangat untuk menjalankan,” kata Rias. (XAR)
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR