Nationalgeographic.co.id—Jaques-Yves Cousteau belajar berenang pada usia empat tahun. Namun, justru ketertarikan awalnya bukan pada laut, melainkan langit. Dia masuk Angkatan Laut Prancis pada 1930 untuk menjadi pilot. Sayangnya, mimpi itu hilang ketika kedua tanganya patah akibat kecelakaan mobil. Sebagai bagian dari rehabilitasinya, perwira angkatan laut Philippe Tailliez menyarankan agar dia berenang di perairan terbuka. Tailliez meminjamkannya kacamata selam dan membawanya memancing di dekat Toulon, di laut Mediterania.
Berenang dengan kacamata ini adalah wahyu. "Begitu saya memasukkan kepala saya ke dalam air, saya terkejut," katanya setelah itu. Dia baru saja menemukan "wilayah yang luas dan benar-benar perawan untuk dijelajahi."
"Saya mengerti bahwa mulai hari ini, saya akan mencurahkan seluruh waktu luang saya untuk eksplorasi bawah laut," katanya.
Akhirnya, ia menyelam hingga kedalaman 60 kaki. Tapi itu tidak cukup dalam atau cukup lama untuk Komandan Cousteau. "Saya selalu memberontak terhadap batasan yang dipaksakan oleh satu inspirasi," tulisnya pada 1952 dalam sebuah artikel untuk National Geographic, yang pertama untuk majalah tersebut.
Untuk menyelam lebih dalam, ia membutuhkan perangkat yang dapat memberikan udara yang mampu menghadapi tekanan air saat bernapas. Karena semakin dalam penyelam tenggelam ke laut, semakin banyak tekanan yang naik. Ayah mertuanya kemudia menghubungkannya dengan insinyur mile bernama Gagnan, seorang spesialis dalam desain pneumatik tekanan tinggi.
Saat itu Perang Dunia II sedang berkecamuk dan Jerman menguasai sebagian besar wilayah Prancis. Gagnan yang bekerja di Paris untuk perusahaan gas utama negara itu, secara khusus merancang katup yang mengatur aliran bahan bakar; Ini memungkinkan mobil berjalan dengan minyak goreng, sebuah adaptasi penting pada masa perang ketika Nazi meminta bensin untuk mobil mereka.
Cousteau melakukan perjalanan ke ibu kota pada 1942 untuk menjelaskan masalah tekanan udaranya kepada insinyur. Gangnan mengira regulator mungkin jawabannya.
Halaman berikutnya...
Perangkat berfungsi, tetapi hanya secara horizontal. Dalam posisi tegak, udara keluar darinya. Cousteau dan Gagnan memposisikan ulang saluran masuk dan buang untuk menempatkannya pada tingkat yang sama. Mereka akhirnya mendapatkan versi yang siap dicoba oleh penjelajah Prancis di laut.
Selama beberapa bulan pada 1943, Cousteau, Tilliez, dan Frédéric Dumas dengan hati-hati menguji perangkat yang disebut Aqua-Lung. Mereka melakukan lebih dari 500 penyelaman di Laut Mediterania. Tanda kedalaman 40 meter dicapai pada awla musim gugur, sebelum Duma pergi ke 67 meter pada Oktober.
Cara terbaik untuk mengamati seekor ikan adalah dengan menjadi seekor ikan. tulis Cousteau dalam artikel pertamanya untuk National Geographic. "Dan cara terbaik untuk menjadi ikan, atau faksimili yang masuk akal, adalah dengan mengenakan alat bantu pernapasan bawah air yang disebut Aqua-Lung. Peranti ini menawarkan manusia kesempatan untuk menyelidiki kedalaman laut tanpa terburu-buru dan tanpa bahaya."
Baca Juga: Temuan Alat Selam Diving Bell oleh Aristoteles untuk Alexander Agung
Hampir 80 tahun setelah perangkat ditemukan, konsep dasar yang sama masih digunakan. "Ini sesederhana dan elegan seperti gagang pintu," jelas David Doubilet, fotografer bawah air National Geographic. "Ini bisa diandalkan! Selama 65 tahun menyelam, saya tidak pernah menemui masalah."
Kemampuan untuk menyelidiki kedalaman, bagaimanapun, membuat penyelam menghadapi bahay lain. Aqua-Lung membuat pernapasan lebih mudah dengan menyeimbangkan tekanan lingkunan dan internal, tetapi tidak dapat mencegah narkosis nitrogen atau "mabuk dari kedalaman", sebuah fenomena yang terjadi ketika gelembung nitrogen terbentuk dalam sistem darah selama turunnya penyelam. Cousteau menggambarkannya sebagai "perasaan euforia, hulangnya kendali secara bertahap atas refleks, hilangnya naluri untuk bertahan hidup." "Udaranya terasa aneh dan anda mabuk karena napas anda sendiri," kata Albert Falco, yang berlayar bersama Cousteau selama hampir 40 tahun.
Cousteau terus berperan aktif dalam eksplorasi bawah laut sampai kematiannya pada 1997 pada usia 87 tahun. "Tugas saya adalah menunjukkan apa yang dilindungi laut, menunjukkan keindahannya, sehingga orang mengenal dan menyukainya," tulis penjelajah itu.
Terlepas dari kontribusi inovatifnya, dunia ini sebagian besar belum diketahui. Menurut US Agency for Ocean and Atmospheric Observation, lebih dari 80 persen lautan di planet kita masih belum dijelajahi.
Baca Juga: Taman Sejarah Bawah Laut Gallipoli, Makam Kapal Perang HMS Majestic
Source | : | National Geographic France |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR