Pengalaman membandel seperti inilah yang membentuk Gus Dur menjadi orang yang suka cari tahu, membuat humor, dan memunculkan kebijaksanaan dalam hidupnya. Lewat film yang ditayangkan bioskop, yang saat itu merupakan hal terlarang di kalangan agamis, membuatnya terbuka untuk memandang dunia lebih jauh, jelas Inaya.
Baca Juga: Kerinduan Orang Nonton Bioskop Saat Flu 1918 Terasa Akrab pada 2021
"Jangankan Gus Dur—yang saat itu gap-nya besar—hari ini kita enggak tahu apa yang terjadi di entah mungkin teman-teman di Papua—enggak usah jauh-jauh, atau di Rangkasbitung—tetapi berkat menonton itu, semua bisa meng-shape," tambah Inaya.
Pemahaman film Gus Dur ini membuatnya juga sempat menulis beberapa esai terkait film. Bahkan, menjadi bagian dari Dewan Kesenian Jakarta, dan mengisi beberapa diskusi di sana pada 19 Juli 1982 dan 3 September 1984.
Kesukaannya pada dunia film tidak berlangsung lama semenjak masalah mata menyerangnya, sehingga tidak lagi menikmati karya yang lebih kontemporer.
Inaya mengenang, Gus Dur tidak pernah nonton film bersama dengan keluarga karena jarang di rumah. Dia memberikan audiobook sebagai teman Gus Dur kala senggang. Ada pula pengalaman yang Inaya tidak lupakan, salah satu audiobook yang memiliki cerita yang kemudian diadopsi sebagai film. Ketika film itu sudah tayang, Gus Dur dan Inaya akan berdiskusi tentang film dan buku, karena biasanya ada perbedaan.
Baca Juga: Memori Natal Kita, Menonton Home Alone, Tegang Gregetan Tiap Adegan
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR