“Isu agama sangat umum karena setiap orang berbicara mana kuil yang ingin mereka datangi, mana gereja yang akan mereka datangi,” ujar seorang profesor biologi Taiwan.
“Jadi ini bukan masalah yang kami sembunyikan, kami biasa saja membicarakannya, sebab di Taiwan, kami memiliki banyak penduduk dari banyak agama,” tandasnya.
Eucklund dan sesama kawannya di Rice University, Kristin Matthews dan Steven Lewis mengumpulkan informasi dari 9.422 responden di delapan negara di seluruh dunia: Perancis, Hong Kong, India, Italia, Taiwan, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Mereka juga berkelana ke negara-negara tersebut untuk melakukan wawancara mendalam terhadap 609 ilmuwan, survey dan wawancara terbesar yang pernah dilakukan terkait konflik sains dan agama.
Dengan survey dan wawancara ilmuwan di berbagai jenjang karir, di institusi elit dan non elit, di biologi atau pun fisika, peneliti berharap mendapat perwakilan pandangan ilmuwan terhadap agama, etikda dan bagaimana keduanya bersinggungan dalam karya ilmiah mereka.
Eucklund mengatakan bahwa penelitian ini memiliki banyak implikasi penting yang dapat diaplikasikan dalam proses perekrutan perguruan tinggi, bagaimana ruang kelas dan laboratorium dengan kebijakan publik yang umum dan terstruktur.
“Sains adalah pekerjaan global,” ujar Ecklund. “Oleh sebab itulah kita perlu mengakui bahwa batas-batas antara sains dan agama dapat ditembus lebih dari asumsi selama ini,” pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR