"Dia memiliki mata yang indah seperti mata rusa dengan warna kemerahan di sudutnya. Wajahnya seperti bulan purnama. Hidungnya indah dan menarik. Tiga lingkaran mengelilingi pusarnya. Suaranya sebagus lagu. Kulitnya lembut dan halus seperti kelopak sirsak yang mekar. Wajahnya berseri-seri bagai bunga cempaka. Langkahnya seperti angsa. Aroma tubuhnya bagai teratai, dan warnanya kesukaannya adalah putih."
Nationalgeographic.co.id - Itulah bagaimana Sri Tanjung digambarkan, dia adalah sosok perempuan yang digambarkan ideal pada masa Majapahit yang dituangkan dalam naskah sastra. Sosoknya digambarkan lewat majas dan ditulis secara sastrawi.
Naskah Sri Tanjung juga menggambarkan sosok ini seolah memiliki payudara yang lebih besar dari kelapa, pahanya seperti daun lontar yang dihaluskan, dan kakinya seperti rusa. Walau legenda ini muncul berdasarkan cerita rakyat Banyuwangi masa Majapahit, masih belum jelas bagaimana fisik perempuan dan bagaimana peran mereka di lingkungan sosial senyatanya.
Oleh karena itu, peneliti periode Hindu-Buddha di Puslit ARKENAS Atina Winaya mencoba mencari tahu bentuk dan keterlibatan perempuan di masa Majapahit. Lewat makalah yang dipublikasikan di SAAA Journal, Juni lalu, dia mencoba melihat dari berbagai peninggalan seperti arca, relief, dan figurin terakota (patung kecil yang terbuat dari tanah liat).
"Jadi, menarik sekali karena kita bisa melihat tatanan rambutnya atau bagaimana cara dia berpakaian, itu bisa kita lihat dari figurin dan relief," kata Atina Winaya yang akrab disapa Wina kepada National Geographic Indonesia, Kamis (09/12/2021).
Baca Juga: Majapahit Tak Hanya Berkuasa di Daratan, Namun Juga Merajai Lautan
Menurutnya, penggambaran terhadap perempuan pada pahatan di relief candi Majapahit berbeda dari masa kerajaan-kerajaan sebelumnya. Majapahit dalam arkeologi Indonesia, berasal dari masa klasik muda, dimana kerajaan berkuasa berasal dari Jawa bagian timur.
Sementara masa klasik tua adalah masa kerajaan yang sebelumnya berjaya dan berkuasa di Jawa Tengah. Peninggalan dalam relief seperti Candi Borbudur dan Prambanan menggambarkan kehidupan sosial masa itu.
"Nah yang menarik antara masa klasik tua—yang di Borobudur tadi yang di Jawa Tengah—dengan seni ada di Jawa Timur itu berbeda. Jadi kalau misalnya kalau di Jawa Tengah itu begitu natural seperti makhluk hidup sesungguhnya, tetapi kalau di Jawa Timur penggambaran manusianya itu lebih kaku, lebih menyerupai bentuk-bentuk wayang," lanjutnya.
"Tetapi secara karakternya sebenarnya lebih natural bagaimana dia menggambarkan busana, rambut, itu seperti sebenarnya. Nah yang menarik di sini kalau membandingkan di antara kedua periode tadi, berdasarkan yang kami kerjakan itu figur perempuan itu [pada peninggalan klasik muda] tampak lebih muncul."
Sebelumnya pada masa klasik tua, perempuan cenderung tidak begitu digambarkan, kecuali sebagai ratu, pengiring, atau rakyat biasa. Sementara, perempuan menjadi pusat atau tokoh utama cerita, bahkan lebih bebas berekspresi dalam hal busana dan gaya rambut, ada pada masa klasik muda yang dapat kita temukan di relief Candi Panataran.
Baca Juga: Tradisi Mengikat Kaki yang Menimbulkan Dilema bagi Perempuan Tiongkok
Secara pakaian, wanita pada masa klasik tua digambarkan menampilkan payudaranya. Kemben atau kain yang menutup dada hingga kaki baru dikenakan pada masa Majapahit, walau tak sedikit juga sebenarnya sosok-sosok yang digambarkan masih menampilkan payudaranya.
Walau Islam muncul dengan ajaran menutup aurat seperti payudara, bukan berarti kemben ada karena dampak itu. Kemben muncul sejak awal Majapahit dan dinilai sebagai gaya berpakaian yang lebih varatif.
Gaya berpakaian lainnya yang muncul berdasarkan pengamatan Wina ada pada penggunaan selendang yang berada di sebelah kiri, memakai surban, rambut yang terurai panjang, hiasan, atau lebih variasi dalam mengekspresikan dirinya. Berbeda dengan di Jawa Tengah yang cenderung menampilka perempuan secara seragam.
"Seperti tahun 90-an, orang menggunakan celana cutbray, itu kan sesuatu fashion yang berkembang. Mungkin ketika itu [di Majapahit] perempuan-perempuannya itu menggunakan selendang di sebelah kiri itu bisa jadi karena tren, tapi alasan detailnya kita belum tahu kenapa," jelasnya.
Baca Juga: Selidik Agama dan Kepercayaan Masyarakat pada Era Kerajaan Majapahit
Hal lainnya yang menggambarkan sosok wanita adalah pada arca. Meski demikian, Wina menguraikan, arca bukanlah gambaran realitas atau cerita masyarakat masa itu, sebab pembuatnya harus mendalami agama dengan "pakem-pakem khusus" yang ada pada kitab seperti Silpasastra.
Maka, patung seperti perempuan yang ditampilkan dengan dada terbuka sebenarnya hanyalah orang-orang khusus, seperti dewa-dewi atau raja dan ratu.
Penggambaran dalam tokoh arca pun dibentuk lewat pemahaman lain dengan halo, riasan berlebih, termasuk busana perempuan yang dadanya terlihat. Salah satu contohnya adalah ratu Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Perempuan pada masa Majapahit tidak hanya berperan di ranah domestik. Mereka muncul di berbagai ranah sosial, menjadi ratu, dan menjadi sosok yang dihormati, tidak seperti pandangan konco wingking yang belakangan muncul di kebudayaan Jawa modern. Hal itu dijabarkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti kepada National Geographic Indonesia tahun 2020.
Wina juga sepakat, bahkan berdasarkan catatan-catatan yang ditemuinya, perempuan Majapahit pun diketahui menjadi pendeta dan pedagang yang membuatnya berdaya. Namun belum diketahui apakah pemahat arca dan relief dilakukan oleh perempuan karena buktinya masih minim.
Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR