Nationalgeographic.co.id - Hari Raya Natal sudah di depan mata. Biasanya, lagu-lagu bertemakan Natal pun mulai diputar, baik di rumah maupun tempat umum.
Jepang termasuk salah satu negara yang merayakan Natal. Uniknya, Simfoni Kesembilan Beethoven “Ode to Joy” menjadi salah satu lagu Natal di sana. Padahal, simfoni ini sama sekali tidak memiliki unsur Natal dalam liriknya. Lalu bagaimana kisahnya sehingga simfoni ini dijadikan sebagai lagu Natal oleh masyarakat Jepang?
Meski mampu menciptakan karya yang luar biasa, kehidupan pribadi Beethoven berantakan. “Dia memiliki kesehatan yang buruk sepanjang hidupnya. Sang Maestro menginginkan cinta tetapi tidak menemukannya. Dia menginginkan sebuah keluarga tetapi tidak memilikinya,” kata penulis dan pembuat film Kerry Candaele. Dalam filmnya, "Following the Ninth", ia mendokumentasikan dampak global dari simfoni terakhir Beethoven.
Beberapa ahli berteori bahwa Beethoven membutuhkan waktu seumur hidup untuk menulis Simfoni Kesembilan. Simfoni ini diselesaikan sebelum kematiannya pada tahun 1827. Ia terinspirasi oleh tulisan penyair dan filsuf Jerman Friedrich Schiller. Pada tahun 1785, Schiller menulis "Ode to Joy" yang berisi pesan universal persaudaraan, kegembiraan, dan kebebasan.
Beethoven pun memasukkan kata-kata Schiller dalam gerakan keempat. Simfoni Kesembilan kemudian menjadi simfoni pertama di dunia yang menampilkan paduan suara.
Meskipun populer di Eropa, Simfoni Kesembilan baru bergaung di Asia seabad kemudian, di tempat yang hampir tidak lazim.
Baca Juga: Teknologi Kecerdasan Buatan Bantu Selesaikan Simfoni No. 10 Beethoven
Selama Perang Dunia I, Jepang bersekutu dengan Inggris dan menangkap musuh dari pulau Qingdao di Tiongkok yang diduduki Jerman. Sekitar 1.000 tentara Jerman diangkut ke Naruto, sebuah kota kecil di Prefektur Tokushima. Alih-alih menerima tawanan perang, pulau ini lebih terbiasa menyambut peziarah kuil Buddha.
Di kamp POW Bando Naruto, komandan mendorong tentara yang ditangkap untuk berpartisipasi dalam beragam aktivitas. Misalnya mengoperasikan toko, menerbitkan surat kabar, dan bermain musik.
Pada tanggal 1 Juni 1918, POW Jerman Hermann Hansen memimpin para tawanan untuk menggunakan instrumen musik. Paduan suara pun dibentuk untuk menampilkan konser Simfoni Kesembilan. Yorisada Tokugawa mendengar tentang konser tersebut dan mengunjungi kamp beberapa bulan kemudian. Ia adalah penyokong musik klasik yang kaya dan politisi. Musisi Jepang kemudian menampilkan Simfoni Kesembilan untuk pertama kali pada tahun 1925.
Pasca-Perang Dunia II, pengabdian orang Jepang kepada Beethoven tetap teguh. Selama pendudukan Jepang oleh Amerika Serikat, musik tradisional Jepang, termasuk kabuki, disensor. Film terkait perang dan referensi ke masa lalu Jepang juga dilarang. Namun yang mengejutkan, Simfoni Beethoven lolos dari sensor.
Pada bulan Desember 1946, di tengah kebangkitan dari perang, orang berbondong-bondong datang untuk menonton konduktor Yahudi-Polandia Joseph Rosenstock. Bersama dengan New Symphony Orchestra, Rosenstock menampilkan Simfoni Kesembilan yang penuh harapan.
“Orang Jepang menemukan harapan untuk bertahan hidup, membangun kembali, dan bergerak maju sebagai kekuatan yang kuat,” kata Jeffrey Bernstein, orang Amerika pertama yang memimpin konser Daiku di Naruto, di dekat tempat para tawanan perang pertama kali menampilkannya.
Baca Juga: Sejarah Mencatat, Belanda Pernah Berhubungan Baik Dengan Jepang
Selama bertahun-tahun, antusiasme untuk Simfoni Kesembilan terus berlanjut. Perancang tekstil Yasu Tanano dapat mengingat simfoni yang diajarkan padanya di tahun 60-an. “Kami menyanyikan "Ode to Joy" atau Daiku dalam bahasa Jepang. Ungkapan dan nadanya begitu mudah dipahami dan diingat. Saya sering menyenandungkan Daiku ketika saya masih kecil,” katanya. Semua orang seusia Tanoto mengetahui simfoni ini dan masih mengingatnya hingga kini.
Sebagai anggota paduan suara, Tanano berpartisipasi dalam konser Ichiman-nin Daiku pertama kalinya pada tahun 1983. Ada 10.000 orang berkumpul dan menyanyikan "Ode to Joy". Untuk mempersiapkannya, Tanano dan ribuan penyanyi lainnya berlatih selama berbulan-bulan, mempelajari lirik dalam bahasa Jerman.
Dengan suara 10.000 orang, "Ode to Joy" dinyanyikan dengan suara yang keras dan mengagumkan. Konser Ichiman-nin Daiku menjadi acara tahunan di berbagai tempat. Sekitar 200 konser skala kecil diadakan di seluruh Jepang tiap bulan Desember berbarengan dengan Natal. Jika Anda ingin menikmati konser berskala besar, maka datanglah ke Osaka.
Grup paduan suara amatir lokal dari Hokkaido hingga Kyushu mendorong siapa saja yang ingin bernyanyi dan bergabung. Baik itu guru, ibu rumah tangga, pekerja, sampai anak-anak.
Bagi sebagian orang Jepang, menyanyikan “Ode to Joy” adalah cara untuk terhubung lebih luas dengan kemanusiaan.
“Saat ini, kami mengamati banyak konflik antaragama atau kelompok etnis terjadi di seluruh dunia,” kata Toshiaki Kamei, mantan wali kota Naruto dan direktur Asosiasi Paduan Suara Daiku Seluruh Jepang.
Orang Jepang percaya dengan menyanyikan Daiku bersama dengan orang dari berbagai latar belakang budaya membantu belajar menerima keragaman dan mempromosikan perdamaian dunia.
Baca Juga: Sains Singkap Musik Viral Punya Kesamaan Pola dengan Penyebaran Virus
Perang dunia, fasisme, komunisme tidak dapat membungkam Simfoni Kesembilan di masa lalu. Sayangnya, pandemi COVID-19 kini menjadi hambatan bagi paduan suara. Pandemi membuat acara besar seperti konser Ichiman-nin Daiku berpeluang menjadi sarana penyebaran virus. Para penggemar setia Beethoven harus mencari cara untuk menjaga tradisi tanpa mengancam kesehatan masyarakat.
“Pandemi sangat memilukan bagi orang-orang yang menyukai kelompok bernyanyi. Karena itu adalah hubungan sosial yang unik bagi mereka,” kata Jeffrey Bernstein.
Sementara itu, bahkan tanpa perayaan yang meriah, semangat Simfoni Kesembilan dari Beethoven tetap hidup.
Berasal dari pena Beethoven beberapa ratus tahun lalu, karya ini telah mengelilingi dunia dan melibatkan banyak orang. Pesannya yang sangat humanis menyebutkan bahwa suatu hari nanti semua manusia akan memperlakukan satu sama lain seperti saudara kandung.
Ini mengingatkan kita bahwa menjadi manusia lebih dari sekadar mengejar apa yang Anda inginkan untuk diri sendiri. Ini tentang berhubungan dengan orang lain.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR