Namun, tidak ada bukti kuat bahwa apa yang disebut terapi konversi dapat mengubah orientasi seksual atau identitas gender seseorang. Organisasi Kesehatan Dunia telah mendiskreditkan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menggambarkannya sebagai "penyiksaan."
Selain itu, praktik ini diketahui sangat berbahaya bagi individu-individu LGBTQ+, dengan banyak penelitian yang menghubungkan terapi konversi dengan tekanan psikologis, kesehatan mental yang buruk, dan upaya bunuh diri. Studi-studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar terapi konversi dilakukan oleh para pemimpin agama.
Terlepas dari kurangnya bukti yang jelas, praktik ini tetap sangat umum di banyak bagian dunia. Sebuah jajak pendapat di Kanada menemukan bahwa sekitar 10 persen pria minoritas seksual telah menjadi sasaran praktik terapi konversi.
Baca Juga: Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita
Sebuah survei LGBT nasional di Inggris menemukan bahwa 7 persen responden telah menjalani atau ditawari terapi konversi tersebut. Kini terapi konversi telah dilarang di Jerman, Brasil, Malta, dan sekitar 20 negara bagian di AS. Senat Prancis memilih untuk melarangnya juga baru-baru ini, sementara Inggris telah berjanji untuk melarangnya, tetapi belum.
"Upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang menjadi heteroseksual, mengubah identitas gender seseorang menjadi cisgender, atau mengubah ekspresi gendernya agar sesuai dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir menyebabkan kerugian besar," ujar Menteri Kehakiman David Lametti serta Menteri Perempuan dan Kesetaraan Gender dan Pemuda Marci Ien dalam sebuah pernyataan seperti dilansir IFL Science.
"Mereka berakar pada pandangan yang salah — dan berbahaya — bahwa segi-segi manusia ini dapat dan harus diubah agar selaras dengan apa yang dianggap 'normal' atau 'alami'. Ini semakin menstigmatisasi orang-orang LGBTQ2+ dan merusak martabat dan kesetaraan mereka."
Baca Juga: Sarat Kontroversi Anti-LGBTQ, Nama Teleskop Baru NASA Diprotes
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR