"Api dari api unggun, makin jauh kian dingin. Namun, korona Matahari sebaliknya, makin jauh dari permukaan Matahari kian panas," ucapnya.
Suhu jutaan derajat korona itu bukan dari kerapatan partikel di korona yang renggang dan bertahap berubah jadi aliran partikel yang disebut angin matahari. Itu diperoleh dari konversi energi magnetik jadi energi panas. Makin banyak jumlah bintik matahari di permukaan Matahari, kian besar energi magnetik terbentuk dan dikonversi. Mekanisme detail konversi energi itu jadi misteri.
Selain itu, penampakan korona setiap gerhana tak sama. Wujud korona dipengaruhi aktivitas Matahari yang diukur dari jumlah bintik matahari di permukaan. Saat aktivitas Matahari maksimum atau banyak bintik matahari, korona terpolarisasi atau terkumpul di beberapa bagian hingga berbentuk mirip helm tentara Romawi.
"Pola itu terbentuk karena medan magnetik besar ditimbulkan bintik matahari," kata Dhani. Panjang korona terpolarisasi 2-3 kali radius Matahari.
Saat jumlah bintik matahari sedikit, korona tampak simetris, tersebar merata di permukaan piringan Bulan. Itu diperkirakan tampak pada gerhana matahari 9 Maret 2016. Kini, aktivitas Matahari turun karena baru mencapai puncak pada 2013. Siklus aktivitas Matahari itu rata-rata berulang setiap 11 tahun.
Kemajuan teknologi membuat pengamatan korona kini bisa pada panjang gelombang sinar-X dan sinar ultraviolet dengan teleskop luar angkasa. Namun, pengamatan korona pada panjang gelombang visual saat gerhana matahari tetap menarik karena citra korona berbagai panjang gelombang dari daerah korona berbeda.
Hal itu membuat magis gerhana matahari total tak pernah lekang oleh zaman. Ia memukau dan diincar pemburu gerhana.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR