Nationalgeograaphic.co.id—“Untuk sementara Ternate mirip Kuta,” kata Sarifudin Koroy sambil menyeringai ketika menyaksikan keruwetan kotanya. “Ke sana ketemu bule, ke sini ketemu bule.”
Koroy, yang berkulit gelap dan berperawakan tegap, merupakan pemerhati sejarah dan budaya asal Ternate, Maluku Utara. Kota kelahirannya memang mendadak gempar dan bergempita pada Rabu, 9 Maret 2016. Pagi itu jalanan di pusat kota macet. Sebagian warga keluar rumah untuk menantikan perjumpaan di beberapa tempat sepanjang tepian pulau itu. Sebagian lagi beringsut ke masjid-masjid untuk menunaikan salat gerhana.
Gerhana matahari sejatinya peristiwa lumrah bagi ilmu pengetahuan. Namun, menjadi luar biasa saat kita menyaksikannya bersama orang-orang istimewa dan di tempat istimewa pula. Sementara saya merinding gelisah. Betapa tidak, saat itu pukul 8.36 WIT, Rembulan baru mulai bersandar di pundak Rawi. Namun, saya masih bersandar pada kursi mobil. Ketika menit-menit yang menentukan pertunjukan semesta ini bergelora, saya justru masih mendekam karena terjebak macet menuju Fort Tolucco. Nyaris apes!
Kendati perhelatan akbar untuk menyaksikan peristiwa Gerhana Matahari Total di Kota Ternate di pusatkan di Fort Oranje, saya lebih memilih menyaksikannya di Fort Tolucco. Selain berada di bukit karang yang menghadap pemandangan laut dan kota, benteng dengan tiga bastion mirip tabung ini memiliki kisah yang mengekalkan upaya para penjelajah samudra menuju Kepulauan Rempah. Konon, jelang pertengahan abad ke-16, benteng ini dibangun oleh Fransesco Serao, penjelajah samudra asal Portugis yang pertama kali menemukan Des Isles Moluques—Kepulauan Rempah di Maluku!
“Benteng ini awalnya di bangun Portugis pada 1540,” ujar Koroy di sebuah ruangan yang diduga gudang mesiu Fort Tolucco. “Kemudian, dipugar pada 1610 oleh Gubernur VOC Pieter Both.” Kepulauan Rempah memang telah ditakdirkan mengubah sejarah penjelajahan dan kartografi dunia. Tampaknya ilmu pengetahuan dunia berutang pada rempah Maluku.
“Wuwww... Wuwww... Wuwww,” sorak pelancong yang menyaksikan peristiwa ketika rembulan berpelukan dengan rawi di bastion Fort Tolucco. Mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan meluapkan ketakjuban dan kesyahduan semesta. Suasana yang tadinya terik dan senyap, sekejap sejuk dan gaduh. Namun, dari jendela benteng yang tak berkusen, ada pula pelancong yang menatap angkasa kala Gerhana Matahari Total itu dengan keharuan mendalam. Pagi itu, pukul 9.52 WIT Fort Tolucco bersaksi atas gelumat dan perasaan campur aduk para pengunjungnya.
“Apakah Anda tahu Kamen Rider?” Tsutabayashi balik bertanya kepada saya. Saya mengatakan kepadanya bahwa Kamen Rider merupakan salah satu film favorit saya ketika kanak-kanak. Apakah peristiwa gerhana ada hubungannya dengan Kamen Rider?
Kakek itu mengungkapkan jati dirinnya sebagai pembuat film serial “Kamen Rider”, kisah fiksi-sains yang tayang di layar kaca televisi Indonesia dekade 1980-an. Film itu berkisah tentang pahlawan bertopeng yang menumpas monster-monster jahat yang akan menguasai Bumi. “Saya membuat 19 episode film Kamen Rider untuk anak-anak,” ujarnya bangga. “Saya juga berkontribusi pada pembuatan film seri Oshin. Saya juga kenal baik dengan Ayako Kobayashi—pemeran Oshin kecil.”
Festival Gerhana Matahari Total di Maluku Utara berpusat di dua kota, Ternate dan Tidore. Perhelatan akbar ini dibuka pada 1 Maret yang ditandai dengan Legu Gam Expo, dan puncaknya pada 9 Maret.
“Saya sudah menyaksikan Gerhana Matahari Total sebanyak lima kali di berbagai negara,” ujar Tsutabayashi sembari menyeka peluh. “Namun inilah gerhana terlama yang saya saksikan sepanjang hidup saya.”
Indonesia memiliki sejarah kecut tentang gerhana matahari. Jika Gerhana Matahari Total Juni 1983 melahirkan gegar budaya dan ketakutan warga, Gerhana Matahari Total Maret 2016 telah melahirkan gempita budaya di sebelas provinsi yang menjadi perlintasannya. Para pemangku kepentingan berupaya memanfaatkan momen semesta yang bersejarah sebagai wahana mempromosikan keunggulan destinasi wisata mereka. Namun, kita perlu berbangga bahwa sejatinya Indonesia telah menjadi tuan rumah gerhana sejak akhir abad ke-19.
Jelang siang nan terik di sebuah rumah pejabat militer yang berlokasi di samping bastion Fort Oranje. Saya berkesempatan berbincang dengan Anwar Husen, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku Utara. Anwar mengatakan bahwa acara di Ternate ini sejatinya dipersiapkan hanya selama dua bulan.
“Gerhana Matahari Total bisa kita lihat dalam tiga perspektif,” ujar Anwar. “Pertama, dari perspektif agama gerhana adalah hukum Tuhan atau sunatullah, orang menyikapi ini dengan ritual agama. Kedua, gerhana menjadi peristiwa ilmu pengetahuan. Dalam momen ini para ilmuwan dan peneliti menjadikannya sebagai objek meneliti fenomena alam. Ketiga, bagi saya, ini adalah peristiwa pariwisata. Orang melihat keindahan fenomena alam ini sebagai sesuatu yang patut dijual dan memiliki nilai investasi dan nilai wisata.”
Menurut Anwar, peristiwa gerhana matahari mempunyai dampak yang luas di sektor pariwisata di Maluku Utara. “Target wisatawan mancanegara di Maluku Utara pada 2016 adalah 2.500 orang,” ujarnya bersemangat. “Namun, baru pada triwulan pertama tahun ini jumlahnya sudah 2.626 orang. Itu yang tercatat pada dinas.”
Semua pihak berharap bahwa gempita untuk menjadikan Maluku Utara sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya, tidak hanya sekadar euforia sesaat lantaran peristiwa gerhana. Boleh jadi pada tahun ini, para pelancong membanjiri Maluku lantaran alasan geografi yang menjadikan kawasan itu sebagai titik pengamatan Gerhana Matahari Total terlama di Nusantara. Dalam jangka panjang, pembangunan sebuah kawasan destinasi wisata, tampaknya perlu sinergi serius antara kesiapan warga dan pemangku kepentingan, termasuk atmosfer kedamaian.
Saya kembali bersimpuh di sudut bastion Fort Tolucco sembari mengingat kembali perkataan Sultan Khairun sebagai penguasa Ternate abad ke-16, kepada Frans Xavier, penyebar Katolik di Maluku. “Orang Kristen dan Islam menyembah Tuhan yang sama," kata Khairun, "dan suatu ketika kelak semuanya akan dipersatukan dalam iman.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR