Kamar-kamar di tempat ini dilengkapi tempat tidur mewah, televisi layar lebar, dinding dilampiri wallpaper indah serta para penghuninya mendapatkan makanan enak tiga kali sehari.
Namun, tempat ini bukan sebuah hotel bintang lima sebab meski mewah, kamar-kamar ini hanya memiliki sedikit jendela dan di luar berdiri tembok tinggi dan menara-menara pengawas.
Tempat ini dinamai "Rumah Keluarga", tetapi sejatinya adalah penjara dengan keamanan maksimum untuk menampung para terpidana kasus-kasus terorisme di Arab Saudi.
Tempat ini dirancang untuk memberi kehidupan normal dan terjamin bagi para terpidana teroris yang berkelakuan baik. Di tempat ini, mereka juga bisa berhubungan dengan istri dan anak-anak mereka atau berencana untuk mencari istri.
Cara menangani para terpidana teroris yang sangat "manusiawi" ini merupakan cara Arab Saudi melakukan pendekatan kepada para terpidana ini, yang tak bisa dipahami dengan baik oleh dunia Barat.
Pemerintah Saudi menilai, mereka yang melakukan aksi teror di luar negeri dan bukan di dalam negeri dianggap sebagai anak yang hilang.
Karena itu, mereka harus ditangani dengan benar, dengan cara memperbaiki cara berpikir mereka sehingga bisa kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang baik.
Filosofi itu baru dipahami setelah sejumlah wartawan mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi LP Al-Ha\'ir, satu dari lima lapas di Saudi yang seluruhnya menahan setidaknya 5.000 orang terpidana kasus terorisme.
"Di sini kami memiliki semua jenis terpidana kasus terorisme di kerajaan ini," kata asisten direktur lapas yang mengaku hanya bernama Abu Nawaf.
"Penjara bukan sekadar tempat untuk menghukum seseorang lalu melepaskannya. Itu hal yang berbahaya bagi dia dan bagi masyarakat," kata Abu Nawaf.
"Jika dia keluar dari tempat ini sebagai orang baik bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakatnya, itu jauh lebih baik," tambah dia.
Abu Nawaf mengatakan, semua narapidana di penjara itu mendapatkan tunjangan, misalnya uang saku sebesar 400 dollar AS dan kemungkinan "cuti" untuk kepentingan keluarga.
!break!
"Seorang narapidana yang harus datang ke pernikahan ke kerabatnya mendapatkan uang 2.666 dollar AS (atau Rp 35 juta) sehingga dia bisa membeli hadiah untuk mempelai," tambah Abu Nawaf.
Sementara itu, pihak lapas menyediakan sejumlah ruangan besar dengan sofa dan meja untuk keperluan kunjungan keluarga.
Narapidana yang dianggap tidak berbahaya boleh mendapat kunjungan dari istrinya di sebuah ruangan khusus dengan dinding dan tempat tidur berwarna merah muda yang dilengkapi minibar (tanpa minuman keras) dan kamar mandi.
Setiap narapidana boleh dikunjungi istri mereka sebulan satu kali. Jika terpidana itu memiliki banyak istri, mereka bisa bergantian menjenguk sang suami.
"Mereka yang punya empat istri, bisa mendapat kunjungan lebih sering, satu istri setiap satu pekan sekali," kata Abu Nawaf.
Bahkan, para terpidana mati juga boleh mendapatkan kunjungan dari istri mereka. "Ini bukan sekadar hak mereka. Ini juga hak sang istri," lanjut Abu Nawaf.
Penyakit ideologi
Tak jauh dari penjara itu terdapat Pusat Konsultasi dan Terapi Pangeran Mohammed bin Nayef. Di tempat ini sejumlah psikolog dan ulama bekerja untuk melakukan deradikalisasi terhadap para narapidana.
Para narapidana baru dibantu seorang psikolog untuk mengidentifikasi faktor-faktor sosial yang membuat mereka tersesat, misalnya minuman keras, narkoba, masalah keluarga, atau kumpulan teman yang salah.
Demikian dijelaskan salah seorang psikolog di tempat itu, Nasser al-Ajmi. Langkah selanjutnya adalah mempertemukan narapidana itu dengan seorang ulama.
Salah seorang ulama yang bekerja di tempat itu, Khalid al-Abdan, mengatakan, dia biasanya mencoba meluruskan pemahaman jihad para tahanan itu.
Khalid mengatakan, perang di Suriah dan Irak tak memenuhi syarat untuk dikatakan jihad karena perang di kedua negara itu terkait sektarianisme dan politik, bukan masalah agama.
Khalid juga menjelaskan kepada para narapidana bahwa mereka harus mematuhi pemerintah dan tidak mendeklarasikan jihad pribadi.
Di salah satu sudut tempat ini terpampang sebuah plakat di dinding yang berisi daftar sesi-sesi konsultasi dan para narapidana yang menerima konsultasi.
Namun, plakat itu tak menyebut nama Yousef al-Sulaiman, pemuda Saudi yang dibebaskan dari tempat ini dua tahun lalu.
Pada Agustus tahun lalu, Yousef meledakkan diri di dalam sebuah masjid yang dipenuhi aparat keamanan Saudi. Akibat aksi ini sedikitnya 15 orang tewas.
Beberapa nama lain yang sudah "lulus" dari tempat ini juga diketahui kembali terlibat dengan kelompok militan, termasuk pelaku pengeboman masjid Syiah di Saudi tahun lalu.
"Di sini kami mengobati penyakit ideologi. Sama halnya saat anak-anak sakit, setelah diobati mereka sembuh, tetapi penyakit masih bisa datang," kata Ajmi saat ditanya soal kegagalan ini.!break!
Di ujung koridor yang berisi deretan sel, terdapat sebuah halaman dengan rumput sintetis. Di tempat ini para narapidana bisanongkrong, merokok, dan menghirup udara segar.
Selain itu, tersedia juga semacam pasar kecil yang menjual minuman dan makanan ringan, ruangan tempat napi bisa menelepon sambil diawasi, dan sebuah perpustakaan kecil.
Korban Amerika
Salah seorang narapidana, Abdullah Mohammed (29), mengatakan, dia sedang belajar hukum syariah di sebuah universitas negeri di Riyadh pada 2014.
Namun, berbagai tayangan kekerasan yang terjadi di Suriah membuatnya memilih untuk pergi ke negeri itu dan bergabung dengan Front al-Nusra yang terafiliasi dengan Al-Qaeda.
"Saya melihat banyak orang kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi. Saya ingin membantu mereka," kata Abdullah.
"Lalu, pergi ke Suriah dan menyaksikan kekacauan, orang-orang saling bunuh dan kami tidak tahu siapa kawan siapa lawan," tambah Abdullah.
Kondisi itu memaksa Abdullah kabur ke Turki. Kedutaan Besar Saudi di negeri itu membantunya pulang kampung.
Saat itu, Pemerintah Saudi memberikan pengampunan bagi warganya yang ikut berperang di Suriah sehingga Abdullah tak langsung masuk penjara.
Namun, setelah itu, Abdullah terlibat dalam bisnis ilegal lainnya yang membuatnya harus mendekam di balik terali besi.
"Saya menghubungi beberapa orang," ujar Abdullah tanpa memberi rincian
Abdullah mengatakan, kesulitannya saat ini bukan karena keputusannya yang salah atau pola pikir yang keliru.
Dia menganggap pemerintah dan media massa Amerika Serikat yang membuat hidupnya penuh kesulitan. "Saya adalah korban dari pemerintah dan media Amerika Serikat," kata dia.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR