Ketika saya ke pasar hobi di Toddupuli, Makassar, medio Mei lalu, suara burung bersahut-sahutan. Ada Beb, nuri, gagak, kepodang, sampai pipit. Ada kandang jaring kawat berukuran 1 x 1 meter, penuh sesak puluhan jalak tunggir merah. Keadaan sama dialami serindit Sulawesi. Burung-burung itu dari Sulawesi, beberapa dari Maluku bahkan Papua.
Setiap hari, kawasan itu selalu ramai. Di belakang petak pedagang, ada lapangan luas–bekas terminal angkutan Toddopuli. Ada tiang-tiang besi berdiri, terhubung palang-palang dan cantolan menggantung sangkar. Di tempat ini, setiap pekan lomba kicau burung digelar.
Ketika menyambangi atau sekadar melintas tempat ini, pikiran melayang membayangkan, bila kepakan sayap burung-burung ini berakhir dalam sangkar.
Mereka layak hidup bebas. Di alam liar, suara burung terdengar lebih merdu dari nyanyian dari dalam sangkar yang bisa jadi adalah tangisan mereka. Saya mengalami itu ketika ikut Ekspedisi Bireshourches Keragaman Hayati LIPI di Gandang Dewata Mamasa, Sulawesi Barat pada 16 April-4 Mei 2016.
Di Desa Rante Pongko, menuju kaki gunung ada kutilang terbang bermain, saling berkejaran dan hinggap di pucuk pohon atau bubungan rumah sambil berkicau. Ekor bergoyang naik turun, rambut di kepala berdiri. Di persawahan elang terbang memutar. Sayap membentang lebar.
Peneliti Burung LIPI, Tri Haryoko mengatakan, perdagangan burung dengan menangkap dari alam liar, salah satu ancaman. “Jika ada perdagangan burung, sebaiknya hasil penangkaran,” katanya.
Di alam, rantai ekosistem menempatkan tugas burung sebagai salah satu penyebar biji terbaik, seperti julang Sulawesi atau kolibri menghisap nektar bunga. Jenis burung lain sebagai pengendali serangga.
Saya menyaksikan tugas beberapa burung itu langsung di Gandang Dewata. Burung kecil bermain di ranting-ranting tanaman kecil, beberapa kali terlihat menyambar serangga tertentu. Ketika sang burung berhasil, paruh menjepit serangga erat.
Sayangnya, selama pengamatan di Gandang Dewata, tak banyak burung memasuki masa breeding (berbiak). Anakan burung di sekitar kawasan berkurang. Hal ini ikut berpengaruh pada vertebrata lain yang menjadi sumber pakan.
Selama pengamatan, Tri mengidentifikasi 54 jenis burung dari 10 ordo dan 28 famili dengan titik ketinggian antara 1.500–2.000 mdpl. Identifikasi itu, merupakan tipe burung pada persawahan, kebun dan hutan.
Dari jumlah itu, kata Tri, 32 jenis (27,35%) burung endemik Sulawesi. “Dengan tambahan itu (identifikasi Gandang Dewata), dari keseluruhan jenis burung Sulawesi, baru tercatat 12,98% dari total keragaman jenis.” “Saya kira Gandang Dewata kawasan esensial bagi kehidupan 27,35% burung endemik Sulawesi.”!break!
Elang alap
Selasa (26/4/15), seekor elang alap terjaring perangkap, sekitar satu kilometer dari basecamp penelitian LIPI. Tri, memegangi menggunakan kaos tangan. Burung itu berontak, kaki mungil dengan cakar tajam mencengkram jari. Paruh kecil ikut menggigit kaos tangan.
Tri merapikan bulu yang berantakan. Disepuh dari kepala hingga ekor. Burung diam sesaat, lalu kembali menjerit. Sayap mengepak berusaha terbang. Saat sedang menelisik, dia melihat keunikan.
Tri terperangah, raut wajah terlihat begitu senang. Setelah memotret elang alap, dia duduk. Sebuah buku guide-tentang burung Kawasan Wallacea-dipelototi. Halaman berisi informasi mengenai jenis elang terbuka. Dua gambar elang alap dalam lembaran itu dicocokkan. Tak ada sama persis.
Burung ini tak disangka akan terjaring karena perangkap dipasang rendah. Elang alap biasa berada di dahan-dahan tinggi mengintai mangsa. Akhirnya ada beberapa spekulasi, kemungkinan sang burung terbang rendah memburu burung kecil, atau sedang menukik untuk menyergap mangsa seperti kadal.
Alap hasil tangkapan itu memiliki tiga stripe (totol) warna putih di bagian ekor, kaki kuning keemasan, kuku hitam, bulu dada coklat muda hingga leher. “Ada dua kemungkinan, ia Accipiter nanus ataukah Accipiter trinotatus. Keduanya endemik Sulawesi ,” katanya.
Accipiter nanus disebut elang alap kecil, untuk Accipeter trinotatus itu elang alap ekor totol. Dari karakter dua jenis itu, kata Tri, temuan alap di Gandang Dewata terjadi overlap dalam karakter morfologi (bentuk), ekor mirip trinonatus tetapi ukuran mirip nanus. “Bagaimana menentukannya? Kita akan uji molekuler. Dari jenis mana. Itu butuh waktu.”
Pertanyaan dari jenis mana alap di Gandang Dewata, terus menghantui. Keesokan hari, sang burung harus jadi specimen, sebagai sampel pengujian lebih lanjut.
Kejutan terus berlanjut. Ketika mengambil sampel pakan di bagian pencernaan si burung, ditemukan beberapa potongan tubuh serangga. Tri mengurai satu per satu. Ada kaki dan kepala serangga. Untuk memastikan, dia meminta bantuan seorang rekan peneliti serangga LIPI. “Nah secara umum, elang itu predator bukan insektivora (pemakan serangga), penelitian ini mengungkap referensi baru bahwa serangga salah satu pakan elang alap kecil.”
Elang alap Gandang Dewata ini jantan. Panjang total 23,9 sentimeter. Panjang tarsus (tungkai kaki) 4,33 sentimeter, rentang sayap 43,3 sentimeter dan berat sekitar 88 gram. “Ketersediaan pakan didominasi serangga menjadikan burung mengkonsumsi serangga, maka berukuran relatif kecil.”
Jika menelisik dari dua jenis alap seperti Accipiter nanus ukuran antara antara 23-28 sentimeter. Tungkai kuning jingga terang, paha putih dan tak bertanda, sera kuning kehijauan. Lalu Accipiter trinotatus berukuran 29-31 sentimeter, ekor gelap dengan dua hingga tiga bintik (totol) putih khas di seluruh bulu ekor.
“Jadi kemungkinan burung ini (alap Gandang Dewata) jenis berbeda dari Accipiter nanus dan Accipiter trinotatus. Variasi baru ini akan memberikan tambahan ciri dalam morfologi,” ujar dia.
Secara umum di Indonesia, elang alap termasuk ordo Falconiformes dan suku Accipitridae dengan anggota mencapai 21 genus. Untuk genus Accipiter terdapat 19 jenis. Tujuh jenis tersebar di sub Kawasan Sulawesi meliputi Talaud, Nenusa, Sangihe, Muna, Togian, Butung. Tiga jenis, yakni Accipeter nanus, Accipeter trinnotatus, Accipiter griseiceps endemik di sub kawasan ini. Endemik khusus Sulawesi Accipiter nanus.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR