"Hanya saja, kehadiran EIC (East Indie Company -kongsi dagang milik Inggris) tak disukai oleh Belanda," lanjutnya. Puncaknya terjadi pada tahun 1632, ketika beberapa titik kota pelabuhan dikuasai oleh EIC, di gempur oleh Belanda.
"Berkat Kepala Kota Jepara yang merupakan orang Eropa, berjasa atas perdamaian dan gencatan senjata antara Belanda dan Inggris," terusnya.
Selain itu, Walikota (kepala kota) Jepara berjasa juga dalam merestorasi, merenovasi, dan memulihkan kembali kota pelabuhan yang rusak akibat konflik, egoisme Belanda untuk menaklukan wilayah yang dikuasai Inggris.
Kapal milik Wouter Schouten yang bersandar di Jepara pada bulan Maret 1659, bersaksi tentang kemegahan kota pelabuhan yang ia lihat. Kesaksiannya menunjukkan tentang makmur dan memiliki banyak penduduk, agaknya berkat restorasi yang telah dilakukan.
Baca Juga: Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan
"Tembok sekelilingnya dalam keadaan baik, rumah-rumah dibangun dengan batu dan kapur, jalan, tembok, lapangan dan pemandangan di sekitarnya menarik. Menyenangkan sekali berkunjung ke sana," ungkap Schouten.
Wouter Schouten menulis dalam bukunya berjudul De Oost-Indische Voyagie van Wouter Schouten, jilid 1, yang diterbitkan oleh Walburg Pers pada tahun 2003.
Pasca restorasi, pasar-pasar dagang penuh dengan orang Jawa, Persia, Arab, Gujarat Cina, Koromandel, Aceh, Melayu, Peguana dan bangsa lainnya. "Segala komoditas dari Asia dan benua lainnya, tampak dijual di sini," tambahnya.
Berbagai keindahan lainnya, mendukung orang-orang Eropa yang datang ke pelabuhan, tak hanya untuk berniaga, tetapi hanya sekadar berkunjung. Pemandangan yang paling mencolok adalah masjid besar.
"Masjid itu berbentuk persegi tanpa serambi, dikelilingi oleh air, seperti halnya masjid Keraton di daerah-daerah kerajaan (Islam)," sambung De Graaf. Masjid itu diperkirakan berasal dari zaman Ratu Jepara dari perempat abad ke-16.
"Atapnya tinggi dengan lima tingkat yang mudah dikenali, meski dilihat dari laut," terang Graaf dalam bukunya. Ia menjelaskan dalam majalah Djawa yang ia sebut dengan istilah Moskee untuk menyebut masjid besar di Jepara.
De Graaf menggambarkan kemegahan masjid itu sebagai simbol hegemoni kota pelabuhan yang bercorak Islam. Hal itu dibuktikan dengan fanatisme masyarakat sekitarnya yang giat meramaikan masjid.
Baca Juga: Selisik Makam Kapten Tack, Perwira VOC Abad Ke-17
Schouten menjelaskan tentang kisah uniknya yang juga muncul dalam tulisan De Graaf. Keindahan masjid besar itu nyatanya menarik perhatian orang-orang yang menyandarkan kapal di pelabuhan Jepara.
"Hampir semua yang datang ke pelabuhan, tertarik untuk masuk ke dalam masjid besar itu," tulis De Graaf. Terkadang karena fanatisme penduduk untuk melindungi masjid, banyak pengunjung non-muslim yang dilarang masuk ke delam masjid.
Keinginan besar orang Eropa yang penasaran untuk masuk ke dalam masjid, membuat mereka selalu berusaha mencari cara. "Orang Eropa datang dengan hadiahnya, mereka menyenangkan penduduk untuk bisa masuk ke masjid," pungkasnya.
Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?
Source | : | Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (De Graaf) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR