Sebanyak 77 liau atau kerangka jenazah diambil dari kuburnya, dibersihkan, lalu dibaringkan di peti mati. Tulang-tulang tersebut merupakan milik nenek moyang dari 46 keluarga yang berasal dari beberapa desa di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Rabu (1/6/2016).
Lingga (33) duduk bersila di ruang tengah huma betang, rumah adat Dayak. Matanya terpejam mendengar tujuh basir (pemimpin ritual adat Dayak) menyanyi sambil menabuh katambung, gendang khas Dayak). Nyanyian dinyanyikan dalam bahasa Sangiang atau bahasa roh, bertujuan untuk mengiringi para liau haring atau roh ke surga.
”Ini kesempatan langka. Upacara adat seperti ini sudah jarang dibuat,” kata laki-laki asal Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Katingan, itu.
Ruang tengah itu penuh dengan sesajen, mulai dari beras, daging ayam kering, hingga bulu-bulu burung yang ditancapkan di sana-sini. Tepat di depan para basir duduk, puluhan sesembahan berupa sabun, odol, sikat gigi, beras, daging, dan macam-macam lagi yang dipercaya sebagai bekal dalam perjalanan ke surga.
Upacara tiwah merupakan rukun kematian tingkat akhir suku Dayak Ngaju pada umumnya. Tujuannya mengantar roh menuju tempat asal bersama Sang Pencipta, sebagian besar masyarakat suku Dayak menyebutnya surga (lewu tatau).
Sebagian besar ritual dilaksanakan di dua tempat, yakni di huma betang milik keluarga besar Syaer Sua di Tumbang Manggu dan di lapangan sekitar rumah itu. Di lapangan, terdapat sangkai raya, tempat menyimpan anjung-anjung (bendera kain) dan persembahan untuk Ranying Hatala atau Sang Pencipta.
Sangkai raya dikelilingi 18 sapundu, patung yang diukir berbentuk manusia untuk mengikat hewan kurban, seperti sapi dan kerbau. Sapundu dibuat dari kayu ulin asli atau yang dikenal dengan kayu besi, proses mengukir, mengantar, dan memasang sapundu pun dilalui dengan sejumlah ritual adat.
Salah satu basir, Marisa (60), mengatakan, upacara tiwah dilaksanakan dua bulan lebih sejak 11 April hingga 15 Juni, yang diisi begitu banyak ritual adat. Namun, ada tiga ritual puncak dalam tiwah, yakni ritual Manyambut Laluhan, Tabuh I, dan Tabuh II.
”Tidak hanya diikuti keluarga dari jenazah, upacara ini diikuti semua warga di kabupaten,” kata Marisa.
Manjamput laluhan merupakan proses menjemput tamu atau para keluarga dari kerangka jenazah yang akan ditiwah. Pada proses itu, tamu dijemput di pagar dan tuan rumah menyambutnya dengan minuman sambil melemparkan beras.
Mereka berbagi minuman dan saling mengoleskan bedak dan kapur di wajah, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah itu, baik tamu maupun tuan rumah menari dan bernyanyi bersama sambil mengelilingi sangkai raya dan sapundu.
!break!
Saat menari, para perempuan menggunakan selendang bercorak Dayak, sedangkan para laki- laki mengikatkan mandau (parang khas Dayak) di pinggang mereka. Semuanya menggunakan ikat kepala merah di kepala.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR