Mereka ini kebanyakan tinggal di kawasan miskin di Paris, Lyon dan berbagai kota industri di wilayah utara Perancis.
Usai masa industri, banyak pabrik ditutup tetapi para pekerja asal Afrika Utara itu tetap tinggal di Perancis dan tetap dianggap bukan warga Perancis sepenuhnya.
Keterisolasian dan kemiskinan menjadi bibit kemarahan terpendam sekaligus menjadi ladang subur perekrutan anggota kelompok radikal.!break!
Diskriminasi dan kemiskinan
Greg Barton, akademisi dari Univesitas Deakin, menyebut Perancis adalah salah satu negeri demokrasi yang paling multikultur di dunia.
Di jantung sistem demokrasi Perancis terdapat apa yang disebut sebagai "laicite" atau sebuah bentuk sekularisme ekstrem. Hal ini menurut Barton agak terlalu berlebihan.
Di satu sisi kebijakan ini ingin memisahkan urusan kenegaraan dan agama, tetapi di sisi lain kebijakan ekstrem ini membuahkan kesulitan tersendiri.
Akibat kebijakan ini, sulit untuk mendata jumlah penduduk keturunan imigran di negeri itu. Sebab sesuai kebijakan "lacite" tak diperkenankan mengumpulkan data berbasis etnis dan agama yang dianut warga.
Namun, diperkirakan sekitar 5 juta warga Perancis memeluk agama Islam atau sekitar 7,5 persen dari total populasi. Ini menjadikan Perancis adalah negeri Eropa dengan populasi Muslim terbesar.
Sebagian besar umat Muslim Perancis adalah keturuanan imigran asal Afrika Utara, seperti Aljazair, Tunisia dan Maroko.
Sayangnya sebagian besar dari mereka hidup miskin dengan angka pengangguran para pemuda keturunan imigran ini mencapai 30 persen.
Menurut Barton, penyebab kemiskinan dan pengangguran ini tak lepas dari diskriminasi yang diperoleh warga keturunan beragama Islam ini saat mencari pekerjaan.
Hal itu pula yang menyebabkan banyak warga keturunan dan Muslim Perancis memilih untuk mengganti nama mereka dengan nama "yang lebih Barat".
Di sisi lain, meski sudah tinggal di Perancis setidaknya selama dua generasi, ternyata integrasi warga imigran Muslim ini dengan warga asli Perancis sangat sulit.
Sebuah survei menunjukkan hanya 75 persen warga imigran ini merasa diri mereka sebagai bagian dari bangsa Perancis. Alhasil, mereka kemudian menganggap agama sebagai identitas dan bukan status kewarganegaraan mereka.
Perancis juga memicu kemarahan kelompok Islam radikal akrena mengerahkan setidaknya 10.000 personel militernya ke Afrika Barat, Afrika Tengah dan Irak.
Selain itu, Perancis juga mengerahkan kapal induk dan jet-jet tempurnya untuk menggempur ISIS di Suriah.
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR