Sekali lagi Perancis mengalami serangan teror yang sangat mematikan setelah sebuah truk menghantam kerumunan orang di pesisir kota Nice dan menewaskan setidaknya 80 orang.
Bukan kali ini saja Perancis mengalami serangan teror, bahkan negeri ini kemungkinan besar merupakan negeri yang paling banyak mendapat serangan teror dibanding negara Barat lainnya.
Sejak serangan maut yang diklaim Al Qaeda terhadap majalah satir Charlie Hebdo pada Januari 2015 lalu yang menewaskan 12 orang, termasuk delapan kartunis majalah itu, telah terjadi setidaknya 11 aksi teror di Negeri Mode ini.
Serangan terbesar adalah pada 13 November 2015, di mana sembilan orang, sebagian besar pernah bertempur di Suriah bersama ISIS, melakukan serangan di beberapa titik keramaian kota Paris.
Serangan antara lain terjadi di dekat Stadion Stade de France dan gedung konser Bataclan, yang terletak tak jauh dari kantor majalah Charlie Hebdo.
Aksi terkordinasi itu menewaskan sebanyak 130 orang dan melukai 350 orang lainnya. Sehari setelah serangan itu, ISIS mengklaim bertanggung jawab.
Mengapa begitu banyak serangan teror di Paris? Apa yang "menarik" dari negeri ini di mata berbagai organisasi radikal dunia?
Seorang kolumnis untuk harian The New York Observer, John Schindler, menggunggah komentar lewat akun Twitter-nya tak lama setelah serangan 13 November tahun lalu.
"Kelompok radikal dari Balkan yang bersenjata ringan terlibat baku tembak di Perancis pada 1995, begitu mengherankan mengapa semua orang terkejut (dengan serangan teror)."
Sebelum menyatakan bertanggung jawab atas serangan November, ISIS menyebut Paris sebagai "ibu kota prostitusi dan kemaksiatan".
ISIS juga menyatakan bahwa Perancis dan semua negara yang mengikuti jejaknya, menjadi sasaran utama organisasi itu.
Kemungkinan lain yang membuat Perancis menjadi sasaran utama adalah keputusan Presiden Francois Hollande bergabung dengan koalisi anti-ISIS pimpinan AS.
Will McCants, pakar ekstremisme dan penulis buku "The ISIS Apocalypse" menyebutm, serangan November itu bisa jadi merupakan peringatan agar Perancis menghentikan serangannnya di Suriah.
Namun, McCants menambahkan, sulit untuk berspekulasi soal alasan ISIS menyerang Perancis. Kemungkinan, ISIS melihat peluang melakukan serangan lebih besar bisa dilaksanakan di Perancis.
"Sebenarnya musuh utama ISIS adalah Amerika Serikat dan pasti AS berada di daftar teratas sasaran ISIS. Namun, ISIS kesulitan memasukkan para simpatisannya ke wilayah AS," tambah McCants.!break!
Sementara itu, koresponden The New Yorker George Packer, yang pernah meliput perang Irak, menduga pinggiran kota Paris merupakan lahan subur perekrutan anggota kelompok radikal.
"Perancis memiliki berbagai jenis kawasan pinggiran, tapi ada salah satu istilah yang khusus yaitu banlieus, yang berkonotasi sebagai kawasan kumuh yang didominasi imigran," tulis Packer dalam artikel berjudul "The Other France".
"Di dalam banlieues terdapat cités yaitu sebuah bangunan permukiman massal yang didirikan di masa sesudah perang. Ditujukan sebagai permukiman pekerja, kini menjelma sebagai kawasan miskin dan isolasi sosial. Para penghuni cités adalah subyek kecurigaan dan kebencian di Perancis," tambah Packer.
Para penghuni banlieues ini sebagian besar adalah imigran asal Aljazair yang hingga 1962 merupakan bagian dari Perancis Raya, sebelum merdeka setelah menjalani perang kemerdekaan yang brutal selama delapan tahun.
Meski warga Perancis keturunan Aljazair saat ini sebagian besar sudah lahir di negeri itu, tetapi rasa keterisolasian dari keseluruhan masyarakat Perancis sangat terasa.
"Masyarakat imigran kerap menggambarkan warga kulit putih dengan istilah Francais de souche atau Perancis dari akarnya. Implikasinya, warga dengan kulit berwarna lebih gelap tak merasa diri mereka sepenuhnya Perancis," tambah Packer.!break!
Perancis dan Afrika Utara
Kedekatan dengan Afrika Utara khususnya Aljazair juga menjadi sorotan John R Bowen, profesor ilmu antropoligi dri Universitas Washington di St Louis, AS.
Dalam opininya yang dimuat majalah TIME awal tahun ini, dia mengalisa penyebab kerapnya Perancis menjadi sasaran serangan teror.
Bowen menyebut adalah sejarah negeri itu dengan Aljazair dan dunia Islam pada umumnya, mengundang banyak imigran ke negeri tersebut.
Sejak 1830, ketika Perancis menjajah Aljazair, negeri itu sudah menganggap Afrika Utara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, sebagai halaman belakangnya.
Setelah Perang Dunia I, Perancis menguasai Suriah dan Lebanon. Sejak saat itu banyak warga Perancis yang tinggal di Afrika Utara dan sebagian Timur Tengah.
Setelah Perang Dunia II, banyak warga Afrika Utara datang ke Perancis untuk bekerja di berbagai pabrik baru.
Mereka ini kebanyakan tinggal di kawasan miskin di Paris, Lyon dan berbagai kota industri di wilayah utara Perancis.
Usai masa industri, banyak pabrik ditutup tetapi para pekerja asal Afrika Utara itu tetap tinggal di Perancis dan tetap dianggap bukan warga Perancis sepenuhnya.
Keterisolasian dan kemiskinan menjadi bibit kemarahan terpendam sekaligus menjadi ladang subur perekrutan anggota kelompok radikal.!break!
Diskriminasi dan kemiskinan
Greg Barton, akademisi dari Univesitas Deakin, menyebut Perancis adalah salah satu negeri demokrasi yang paling multikultur di dunia.
Di jantung sistem demokrasi Perancis terdapat apa yang disebut sebagai "laicite" atau sebuah bentuk sekularisme ekstrem. Hal ini menurut Barton agak terlalu berlebihan.
Di satu sisi kebijakan ini ingin memisahkan urusan kenegaraan dan agama, tetapi di sisi lain kebijakan ekstrem ini membuahkan kesulitan tersendiri.
Akibat kebijakan ini, sulit untuk mendata jumlah penduduk keturunan imigran di negeri itu. Sebab sesuai kebijakan "lacite" tak diperkenankan mengumpulkan data berbasis etnis dan agama yang dianut warga.
Namun, diperkirakan sekitar 5 juta warga Perancis memeluk agama Islam atau sekitar 7,5 persen dari total populasi. Ini menjadikan Perancis adalah negeri Eropa dengan populasi Muslim terbesar.
Sebagian besar umat Muslim Perancis adalah keturuanan imigran asal Afrika Utara, seperti Aljazair, Tunisia dan Maroko.
Sayangnya sebagian besar dari mereka hidup miskin dengan angka pengangguran para pemuda keturunan imigran ini mencapai 30 persen.
Menurut Barton, penyebab kemiskinan dan pengangguran ini tak lepas dari diskriminasi yang diperoleh warga keturunan beragama Islam ini saat mencari pekerjaan.
Hal itu pula yang menyebabkan banyak warga keturunan dan Muslim Perancis memilih untuk mengganti nama mereka dengan nama "yang lebih Barat".
Di sisi lain, meski sudah tinggal di Perancis setidaknya selama dua generasi, ternyata integrasi warga imigran Muslim ini dengan warga asli Perancis sangat sulit.
Sebuah survei menunjukkan hanya 75 persen warga imigran ini merasa diri mereka sebagai bagian dari bangsa Perancis. Alhasil, mereka kemudian menganggap agama sebagai identitas dan bukan status kewarganegaraan mereka.
Perancis juga memicu kemarahan kelompok Islam radikal akrena mengerahkan setidaknya 10.000 personel militernya ke Afrika Barat, Afrika Tengah dan Irak.
Selain itu, Perancis juga mengerahkan kapal induk dan jet-jet tempurnya untuk menggempur ISIS di Suriah.
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR