Nationalgeographic.co.id—Secara umum, beberapa negara di Asia Tenggara memiliki pola pertanian yang hampir sama dan seragam, jika dilihat dalam kacamata para ahli sejak abad ke-17.
Berbeda halnya dengan negara Eropa, penduduk Asia Tenggara menggunakan alat dan perkakas tani yang masih sederhana. Hanya saja, mereka lebih terampil dibandingkan dengan Eropa karena menempuh cara yang lebih manual dan cenderung lebih percaya akan mitos padi.
Konsumsi beras sebagai bahan pangan pokok, mendorong masyarakat Asia Tenggara yang agraris untuk bertani padi. Sejak abad ke-15, padi telah menjadi hasil bumi pokok setelah masyarakatnya mulai meninggalkan talas, ubi, sagu, dan sejenis gandum.
"Pada masa itu, semuanya (negara-negara di Asia Tenggara) tidak menggunakan peralatan langka untuk pertanian, seperti halnya besi," tulis Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, yang terbit tahun 1992.
Dalam hal pertanian, peralatan umum yang masih digunakan kala itu adalah luku kayu yang ujungnya dari logam dan garuk dari kayu, yang keduanya diseret di belakang kerbau atau sapi.
Meski begitu, nyatanya, luku kayu sebagaimana diungkap William H. Scott dalam Reid, tak tersebar luas di seluruh Asia Tenggara. Filipina salah satunya, membuktikan bahwa masyarakatnya tak mengenal luku kayu sebagai alat pertanian.
Baca Juga: Sistem Sentralisasi Pertanian Menjadi Faktor Runtuhnya Peradaban Khmer
Perkembangan selanjutnya, pertanian mulai merambah pada alat-alat seperti parang, yang sekaligus merambah ke hutan. Ada juga pacul atau cangkul dan linggis yang digunakan dalam pertanian.
Pada beberapa negara, kaum wanita memiliki peran dalam pertanian. "Kaum wanitalah yang menuai dengan memakai ani-ani (pisau kecil) setiap kali memotong batang-batang," terang Reid.
Adanya pengaruh dari Cina ke beberapa negara Asia Tenggara, memungkinkan penggunaan sabit, utamanya yang dilihat Reid di bagian Vietnam Utara, Thailand bagian tengah, dan Burma (Myanmar).
"Penggunaan sabit (mungkin) disebabkan oleh sistem penyebaran benih pada tanah genangan di lembah-lembah sungai ini, yang memberi kaum tani bentangan luas padi berbatang tinggi, sehingga memerlukan cara menuai yang paling cepat," imbuhnya.
Hampir di seluruh Semenanjung Malaya (orang-orang Thai dan Melayu), serta beberapa wilayah lainnya, ani-ani tetap populer meskipun penggunaan sabit sudah merambah di hampir seluruh Asia Tenggara.
"Orang-orang Vietnam Selatan yang telah mengetahui tentang adanya sabit dalam pertanian dan ladang, tetap menggunakan pisau kecil (ani-ani), bahkan hingga memasuki abad ke-19," terus Reid.
John Frederick Adolphus McNair dalam bukunya berjudul Perak and the Malays, terbitan 1878, menjelaskan tentang penggunaan ani-ani di Asia Tenggara hingga abad ke-19.
Ia menyebut bahwa para ahli etnografi abad ke-19, yang tampaknya bertanya-tanya, mengapa alat berupa ani-ani yang kurang efisien, malah terus digunakan hingga tahun 1800-an. Agaknya, mereka menghargai Dewi Padi yang lebih berkenan dengan ani-ani.
"Setidaknya ani-ani memiliki kelebihan yang sangat praktis, khususnya untuk padi-padi di wilayah perbukitan," tambah McNair.
Baca Juga: Para Petani Rangkap Peneliti, dan Kisahnya Menghadapi Perubahan Iklim
Melalui ani-ani, petani dapat memotong batang-batang pada yang masak saja. Dengan demikian, penggunaan ani-ani masih terus eksis digunakan hingga permulaan abad ke-19.
Penggunaan kerbau juga diandalkan di hampir seluruh Asia Tenggara. "Kerbau yang lamban tetap dijadikan hewan penghela, utamanya digunakan untuk membajak sawah serta mengangkut hasil bumi," imbuhnya.
Beberapa kawasan seperti Burma (Myanmar), Kamboja, Siam, Jawa, dan Bali, memiliki pengaruh India yang kental. Tak heran, jika adanya sapi putih yang diternakkan untuk memperoleh dagingnya, serta hewan pengangkut yang kadang juga digunakan di sawah.
Source | : | Perak and the Malays (1878) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR