Keadaannya mungkin serupa dengan 15 tahun lalu, ketika saya dan teman mengunjunginya. Saat itu, kami merasa hanya menelusuri lorong-lorong kosong. Tiada takut walau berdua saja, selain sejumlah pengunjung. Ada cahaya cukup dari lampu-lampu. Tak terkesan gua yang lazimnya gelap pengap. Inilah bedanya gua alam dan buatan.
Gua Jepang di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H Djuanda, 7 kilometer di utara Bandung itu gelap pekat. Kami menyewa tiga senter. Menurut Pak Asep, penerangan listrik dihentikan.
Suasana justru lebih alami. Berdebar, kami masuki mulut gua berbatu-batu. Sesungguhnya itu tanah yang sering terinjak, bergumpal-gumpal mengeras bak batu. Seluruh gua berlorong tiga itu berlantai tanah. Digali pada 1942 sebagai persiapan menghadapi Sekutu: tempat sembunyi, gudang amunisi dan radio komunikasi. Sang penggali: Romusha —rakyat Indonesia yang dikerja paksa. Gua ini hanya sampai satu sisi, tak tembus bukit. Ada suara-suara di langit gua: kelelawar-kelelawar kecil rehat menunggu senja berburu.
Kami dapati lagi terang mentari. Menikmati hijau pinus (Pinus merkusii), kaliandra (Calliandra callothyrsus), bambu (Bambusa sp.) dan kicauan burung sembari menapak beberapa ratus meter menuju gua kedua, Gua Belanda.
Berdebar, kami masuki mulut gua berbatu-batu. Sesungguhnya itu tanah yang sering terinjak, bergumpal-gumpal mengeras bak batu. Seluruh gua berlorong tiga itu berlantai tanah.
Suasananya lebih ramah. Dari pintu masuk, ada cahaya di ujung lorong. Gua ini menembus bukit. Sepasang mulut gua lebih kecil di ketinggian bak jendela, gua ini lebih bak benteng bahkan gudang karena berlapis tembok. Pada 1941, awalnya untuk terowongan penghubung PLTA Bengkok. Saat Perang Pasifik menyeret penjajah Indonesia selama 350 tahun itu, militer Hindia Belanda pun mengalih fungsi sebagai stasiun radio telekomunikasi militer dan gudang senjata. Di dinding dan langit-langit tersisa besi-besi penggantung senjata aneka ukuran. Di lantai mulut gua tertanam sisa rel lori pengangkut logistik dan amunisi.
Saya menghirup udara segar di luar. Sembari menyantap jagung bakar dan menyeruput teh hangat yang kami pesan dari ibu penjaja di warung muka gua, sebelum menelusur lorong gelap itu, seje-nak saya tertegun-tegun. Betapa Belanda dan Jepang, dua tamu tak diundang bisa bersisian mempertahankan posisi. Wilayah indah ini memang pantas diperebutkan. Tinggal bagaimana kita saja kini merawat harta yang akhirnya kembali ke pangkuan ini.
Tahura yang diresmikan 14 Januari 1985 dan bermula sebagai Wisata Alam Curug Dago di ketinggian 770 – 1.330 m dpl ini kini bisa kita nikmati keindahasrianya di kesejukan 18-24°C. Mencermati kekayaan fauna dan floranya hingga menjadi museum hidup, rasanya jadi lebih bermakna.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR