Bagi Pardis Sabeti, seorang profesor di Universitas Harvard, hidupnya telah berubah sejak 17 Juli 2015. Ia mengalami kecelakaan saat berkendara di jalan Montana. Insiden itu hampir menyebabkan ia terbunuh, menghancurkan panggul dan lututnya. Cedera telah mengakibatkan berbagai masalah medis bagi wanita yang dianggap sebagai bintang rock di dunia ilmu pengetahuan. Sabeti bekerja dalam penelitian terkait penyakit genetik.
Enam belas bulan semenjak kecelakaan, Sabeti masih memiliki 40 pelat logam dan pin di tubuhnya dari beberapa operasi pascakecelakaan. Ia juga menderita sakit kronis, vertigo, dan serangan radang pernapasan.
"Dengan banyak benda dalam tubuh Anda sekaligus trauma, itu adalah situasi normal yang harus Anda hadapi,\'\' kata Sabeti, seorang ahli biologi komputasi. Ia kemudian melanjutkan, “Saya merasakan kelelahan kronis, dan rasanya seperti otak saya masih berkabut," ujar Sabeti.
Wanita asal Tehran ini, bersama keluarganya, melarikan diri dari revolusi Iran tahun 1979. Saat itu, Sabeti merupakan jagoan matematika. Ia mendapatkan National Merit Scholarship. Ia lulus sebagai sarjana di bidang biologi dengan IPK sempurna di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia kemudian memenangkan beasiswa Rhodes di Universitas Oxford, di mana ia belajar resistensi genetik manusia terhadap penyakit menular. Di Harvard Medical School, ia meraih gelar summa cumlaude sebagai Soros Fellow.
Sabeti mengembangkan terobosan algoritma dan kunci evolusi detektif untuk memecahkan kode genetik. Alat itu memungkinkan para ilmuwan memahami lebih dalam bagaimana penyakit dapat menular. Seperti cara beradaptasi dan penyebaran demam Lassa dan Ebola.
Penelitian Sabeti telah memenangkan berbagai penghargaan, termasuk Smithsonian American Ingenuity Award for Nature Science, Vilcek Prize for Creative Promise, dan NIH New Innovator Award. Pada tahun 2014, ia diganjar penghargaan Persons of the Year oleh majalah Time. Tahun berikutnya, ia sukses masuk dalam daftar dari 100 orang paling berpengaruh di awal tahun 2015 versi majalah yang sama.
Saat ini, hal-hal sederhana seperti berjalan memang sulit dilakukan Sabeti. Ia mesti melakukan rehabilitasi fisik, latihan peregangan, dan pijat untuk penyembuhan cedera. Sabeti juga masih sering bermimpi buruk tentang kecelakaan, yang terjadi ketika dia sedang beristirahat dari sebuah konferensi teknologi di dekat Bozeman.
Ia cukup beruntung, bantuan keluarga, teman, kolega, dan terapis telah mengembalikan kepercayaan dirinya. Sekarang, ia teguh menghadapi tantangan pemulihan fisik dan emosional berkepanjangan. Pijat telah membantu membebaskan kenangan traumatisnya.
"Aku terus saja menangis dan menangis, sampai tidak bisa lagi menangis,\'\' kata Sabeti.
Sebenarnya, Sabeti telah terbiasa dengan tragedi dalam hidupnya. Ayah Sabeti pernah mengalami kecelakaan mobil yang sama, ia mengalami cedera saat Sabeti masih kecil. Pada tahun 2014, ketika ia menjadi anggota tim peneliti Afrika Barat dalam menanggapi wabah Ebola, beberapa rekan kerjanya meninggal setelah terinfeksi.
Sekarang Sabeti telah kembali bekerja di Sabeti Lab, bagian dari FAS Center for System Biology di Universitas Harvard, namun pandangannya tentang kehidupan telah berubah.
"Saya tidak peduli tentang apa pun sepanjang tahun lalu, kecuali mendapatkan kembali kesehatan saya,\'\' katanya. "Tidak ada sesuatu seperti itu (cacat) yang tidak mengganggu Anda. Anda memang cacat. Semuanya adalah jalan bagi saya. Saya hanya memiliki petualangan baru. Dan ini benar-benar sebuah perjuangan."
Ilmuwan sukses ini mengungkapkan dia telah lama tak memedulikan ilmu pengetahuan pascakecelakaan itu, namun gairahnya kini telah kembali. “Masih banyak pekerjaan, khususnya mengurutkan genom Ebola, dan kami akan merilis penelitian genom yang telah dilakukan pada virus Zika,\'\' katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR