Badai yang tak biasa menyapu sepanjang wilayah pegunungan Semenanjung Antartika pada Februari tahun ini. Beberapa ilmuwan merunduk ketika lelehan salju menyapu tenda mereka.
Erin Pettit menemukan jalan menuju perkemahan dengan mengikuti serangkaian bendera kanvas merah dan hijau yang berkibar pada tiang-tiang bambu. Tapi ketika ia berhenti sejenak dan mendongak, ia melihat keanehan: ada langit biru di atas kepalanya. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada salju yang baru turun, hanya ada badai salju yang berasal dari kumpulan salju-salju sebelumnya.
Salju berguguran dari permukaan gletser saat angin berrhembus kencang di sisi timur pegunungan semenanjung ini. Ketika angin akhirnya berhenti berhembus, Pettit muncul dari tendanya dan menemukan salju yang mulai meleleh di bawah sepatu botnya.
Suhu melonjak hingga mencapai 40 derajat Fahrenheit. Saat melihat melalui teropongnya di bagian hilir Gletser Starbuck, enam mil ke arah timur, mata Pettit menangkap warna kebiru-biruan: Angin telah melelehkan cukup banyak salju untuk membentuk ribuan kolam pada permukaan gletser. Itulah pengamatan singkat yang dilakukan Pettit dan tiga peneliti lain yang datang ke sana untuk mencari tahu.
Setelah mempelajari perubahan iklim Antartika selama beberapa dekade, para ilmuwan membuat penemuan yang mengejutkan: Di beberapa tempat, banyak panas tak wajar menyerang dalam bentuk angin yang terjun melalui lereng pegunungan. Angin ini kerap disebut sebagai angin fohn.
Pettit, yang merupakan seorang ahli gletser University of Alaska di Fairbanks dan National Geographic explorer, kini menduga bahwa angin ini berkontribusi dalam rangkaian peristiwa dramatis keruntuhan gletser yang terus mengubah wajah sisi timur Semenanjung Antartika selama 30 tahun terakhir.
Angin Fohn mungkin luput dari perhatian para ilmuwan karena angin jenis ini tidak hanya bertiup selama musim panas. Beberapa gelombang panas yang paling mengesankan sebenarnya menyerang di tengah musim dingin, mengikis gletser pada suatu waktu yang tak pernah diduga oleh siapa pun.
"Mereka sepertinya berperan lebih banyak dalam peristiwa pencairan lapisan es daripada yang kita bayangkan," kata Adrian Luckman, seorang ahli gletser di Swansea University di Inggris, yang mempelajari daerah Antartika. Angin menghasilkan perubahan halus dalam sirkulasi atmosfer akibat pemanasan iklim, mereka bisa menjadi konsekuensi besar.
Mencairnya dataran es
Antartika terisolasi di bawah dunia, dikelilingi oleh pusaran angin sirkumpolar dan arus laut yang berputar-putar tanpa henti di sekitarnya. "Semenanjung Antartika adalah satu-satunya penghalang terhadap angin ini,” ungkap Pettit.
Semenanjung membentang lebih dari 1.000 km ke atas, ke wilayah selatan samudera. Punggung pegunungan yang naik dari 1.500 ke 2.700 meter di atas permukaan laut, diselimuti oleh dataran tinggi es, sehingga membentuk dinding yang biasanya mengalihkan angin sirkumpolar ke utara dan sekitarnya.
Sisi timur Semenanjung yang terlindung dari angin ini amat sangat dingin. Selama ribuan tahun, semenanjung diapit oleh serangkaian dataran es - yang disebut lapisan es setebal 250 meter atau lebih yang mengapung di laut dan meluas hingga 240 km.
Lapisan es telah membentuk puluhan gletser yang mengalir di lepas pantai semenanjung, menggabungkan es menjadi hamparan luas yang tersebar di laut. Namun semua ini mulai berubah pada tahun 1988.
Satu per satu lapisan es di sisi timur semenanjung mulai runtuh. Pertama, dua lapisan es hilang dengan mudah, muncul pada awal musim panas, lantas menghilang di akhir musim.
Namun runtuhnya lapisan es Larsen A pada tahun 1995 dan Larsen B pada tahun 2002 merupakan peristiwa hebat. Peristiwa tersebut terdokumentasikan oleh saksi manusia dan foto satelit. Larsen B, yang menyelimuti wilayah yang lebih luas dari negara bagian Rhode Island, hancur dalam hitungan hari menjadi ribuan pecahan, masing-masing hanya berukuran lebih besar dari sebuah pesawat pengangkut.
Larsen A dan B menunjukkan gejala sama yang mengarah pada kehancuran mereka. Keduanya kehilangan lapisan isolasi salju mereka, memperlihatkan permukaan es yang gelap dan menyerap lebih banyak panas matahari. Danau lelehan bermunculan dan menjalar ke seluruh permukaan, kemudian air mengalir melalui celah-celah di dalam es.
“Bobot air lelehan mendorong keretakan yang lebih dalam selayaknya pasak, dan menerobos ke bagian bawah,” kata Theodore Scambos, seorang ahli gletser di National Snow and Ice Data Center, yang telah mempelajari lapisan es ini selama bertahun-tahun dan berkemah dengan Pettit di Antartika pada Februari lalu.
Teori ini nampaknya menjelaskan runtuhnya empat lapisan es secara tiba tiba dalam 15 tahun terakhir. Namun pada tahun 2010, Scambos dan Pettit menemukan hal baru yang akan mengubah pandangan mereka tentang keadaan ini.
Pada bulan Februari tahun itu, mereka mengunjungi potongan kecil Larsen B yang bertahan - sekarang disebut Lapisan Es Scar Inlet - dan memasang beberapa stasiun cuaca otomatis di sekitarnya.
Scar Inlet melihat sunset terakhirnya pada 13 Juni 2010. Pada puncak musim dingin Antartika di pertengahan Juli, suhu di sana turun mencapai -30° F. Itulah saat stasiun cuaca mengirim balik beberapa berita tak terduga melalui telepon satelit. Pada tanggal 14 Juli, angin tiba-tiba berhembus, dan suhu di Scar Inlet naik 77 derajat, mencapai puncaknya pada 50 derajat Fahrenheit. Air lelehan menetes melalui salju. Gelombang panas itu berlangsung selama 36 jam.
Scambos dengan cepat mengenali ini adalah angin fohn - fenomena yang dikenal di daerah pegunungan lainnya, dari Pegunungan Alpen di Eropa sampai Rockies di Colorado. Susunan tak biasa dari sistem bertekanan tinggi dan rendah telah mendorong angin sirkumpolar mengalir langsung di atas pegunungan Semenanjung Antartika ketimbang membelokkan angin itu ke utara seperti biasanya.
Ketika udara naik melalui sisi barat pegunungan, uapnya berjatuhan menjadi salju. Proses ini menyebabkan udara menghangat karena molekul air melepaskan panas untuk berkondensasi dari uap menjadi kristal-kristal es. Lalu udara melesat turun melalui sisi timur pegunungan, menyebabkan udara terus menghangat karena terkompresi, sehingga memicu gelombang panas.
Ketika Scambos dan Pettit kembali ke Lapisan Es Scar pada awal tahun 2011, mereka menemukan jejak manusia dari tahun sebelumnya tetap ada permukaannya dan dipadatkan melalui pencairan serta pembekuan ulang. Fakta tersebut jelas menakutkan, sebab itu berarti setiap salju baru yang jatuh selama musim dingin telah terhapus oleh angin.
Scambos, Pettit, dan beberapa ilmuwan lain sekarang memiliki dugaan kuat bahwa angin fohn memegang peran penting dalam keruntuhan lapisan-lapisan es baru-baru ini. Peristiwa ini terus menimbulkan konsekuensi yang lebih luas.
Mempercepat Kenaikan Air Laut
Runtuhnya lapisan es Larsen A dan B pada tahun 1995 dan 2002 menghilangkan dinding penopang yang menghambat dan menyeimbangkan aliran gletser di lepas pantai Semenanjung Antartika. Hilangnya penyokong membuat kecepatan aliran gletser ke samduera meningkat hingga sembilan kali lipat daripada kecepatan awal dan berimbas pada naiknya air laut.
“Perubahan iklim yang terus berlanjut diperkirakan akan meningkatkan frekuensi dan kekuatan angin fohn di semenanjung,” kata Pettit.
Stasiun cuaca yang dipasang olehnya dan Scambos telah mencatat lonjakan temperatur hingga 60° F. Meskipun angin mereda selama beberapa tahun, mereka tiba-tiba kembali lagi pada bulan September. Stasiun cuaca di Scar Inlet mendeteksi delapan peristiwa fohn selama September dan Oktober, masing-masing berlangsung satu sampai tiga hari, mengakibatkan suhu setinggi 48° F.
Scambos sudah melihat dampaknya pada gambar satelit di daerah tersebut. Lapisan es muncul lebih gelap dari biasanya, seperti halnya permukaan es laut yang terletak di bagian depan lapisan es. "Area angin berkecepatan tinggi dan angin hangat membuat salju menguap, mungkin juga mencair sedikit," katanya.
Es yang lebih gelap akan menyerap lebih banyak panas selama musim panas Antartika dari bulan November sampai bulan Februari, menciptakan kolam lelehan besar yang bisa memicu runtuhan terakhir dari Lapisan Es Scar.
Angin juga mengancam lapisan es dari arah lain. Sejak Larsen B runtuh pada tahun 2002, bongkahan es yang lebih tebal dari 2,5 meter, mendorong bagian depan Scar Inlet, menguatkan lapisan es yang tersisa.
Namun, foto satelit sekarang ini menunjukkan bahwa hanya dalam beberapa minggu terakhir, angin fohn telah mendorong lebih banyak es ke laut dan menyebabkan lebih banyak es yang menghilang setiap minggunya. Bagian tepi lapisan es memiliki fungsi yang sama seperti halnya lengkungan runcing pada arsitektur Gotik, yaitu berfungsi untuk menyokong struktur utama.
"Jika Anda menyingkirkan bagian penting itu, seluruh lengkungan akan runtuh. Lapisan Es Scar yang menyokongnya juga akan runtuh. Sisa-sisa terakhir dari Larsen B akan hilang,” kata Pettit.
Harapan untuk Lapisan Es raksasa
Hanya beberapa mil ke selatan terdapat lapisan es lain, yaitu Larsen C. Larsen C merupakan lapisan terbesar dan menstabilkan lebih banyak gletser daripada gabungan keempat runtuhan lapisan es sebelumnya.
Pada tanggal 10 Juni, sebuah tim ilmuwan Inggris yang dipimpin oleh Luckman melaporkan penemuan yang mengganggu di ujung utara Larsen C. Larsen C seharusnya diselimuti tutupan salju setebal 60 meter. Tetapi di beberapa tempat, ketebalannnya berkurang tiga meter, sebagian akibat terhapus oleh angin fohn.
Temuan itu menjadi ancaman karena genangan dari lelehan es akan terus meningkat sampai mengancam stabilitas Larsen C. Akan tetapi hal tersebut juga membuka kesempatan: setelah puluhan tahun dikejutkan oleh runtuhan ini,para ilmuwan akhirnya mendapat kemajuan dalam memahami masalah dan mengantisipasi apa yang akan terjadi berikutnya.
"Ini masih terlalu dini, kita tidak benar-benar mengetahui keseluruhan cerita. Kami mengawasi peristiwa ini dengan sangat hati-hati," pungkas Luckman.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR