Nationalgeographic.co.id—Lie kim in. Tjia Gwan Soei. Teng Tjwan Seng. Oei Djoe Gwan. Sederet papan nama bekas tampak dipajang di pintu dan jendela kaca ruko. Pada suatu masa, papan itu memang pernah berjaya menandai rumah mereka.
“Dulu papan nama itu sempat eksis di negeri kita,” kata Azmi Abubakar dengan aksen Aceh. “Sekarang sudah tidak dipakai lagi karena mereka takut dengan namanya sendiri. Padahal, kalau saya melihat, nama mereka indah-indah.”
Azmi, lelaki ramah dengan jenggot melingkar, menghimpunnya satu demi satu. Namun, ada satu papan nama logam yang sengaja tidak dipajangnya, melainkan diletakkan di atas meja.
Saya menekuri papan nama itu, yang beraksara timbul “Tan Lian Tjhoen”. Kemudian, Azmi meraihnya seraya membalik papan nama itu. Saya terkesiap, rupanya terdapat nama lain di baliknya: “Djoenaedy K.”!
“Papan nama ini bercerita sebenarnya,” kata Azmi sembari menimang-nimangnya. “Saya kalau ingat ini sedih rasanya.”
Papan nama itu menjadi bagian ingatan negeri ini ketika sebuah kekuasaan berusaha memberangus budaya Tionghoa. Salah satunya, peraturan yang “mengimbau” untuk mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia. Padahal, orang-orang Tionghoa telah menghuni Nusantara sejak ratusan tahun silam. “Bagaimana dia mengubur namanya dengan membalik papan nama—dan menuliskannya dengan nama baru.”
Azmi adalah kolektor dan pedagang buku lawas. Enam tahun silam, dia mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di kompleks ruko ITC BSD, Tangerang Selatan. Empati Azmi kepada orang Tionghoa saat peristiwa kelam 1998, telah menyalakan semangat museumnya. Kini, koleksi museumnya berjumlah lebih dari 20.000 buku dan naskah!
"Orang-orang Tionghoa adalah sosok hebat," ungkap Azmi. Mereka merupakan kelompok masyarakat intelektual yang menghasilkan banyak kontribusi besar bagi Indonesia, terutama budaya dan ekonomi. “Sederhananya,” kata Azmi, “museum ini menjadi bentuk sumbangsih kita yang tak seberapa, setelah kontribusi yang mereka berikan untuk budaya kita.”
Koleksinya sungguh menarik, kendati semuanya belum dikatalogisasi. Simak buku catatan kegiatan sekelompok pandu dengan ilustrasi memukau karya Goei Tek Tjiang pada 1946-48. Tengok juga, manuskrip beraksara Jawa karya Tjan Tjoen Hiang di Surakarta pada 1891. Azmi mengatakan, Tjan menceritakan kembali kisah roman klasik Tingkok, Sie Djin Kwie. Tampaknya, inilah salah satu upaya dari warga Tionghoa untuk menjadi bagian sebagai orang Jawa, kendati sejatinya mereka adalah orang Jawa itu sendiri. Dan, koleksi terbaru museum: arsip dan foto kehidupan John Lie dan istrinya!
“Inilah harta karun kita,” ujarnya. Lewat koleksi pustaka dan benda warisan peranakan Tionghoa, Azmi menyimpan harapan yang hendak dibagikan kepada para pengunjung.
“Sebenarnya, Tionghoa adalah bagian dari kita,” katanya. “Sejauh mana kita memahami mereka, itu menjadi tugas kita, dan juga sebaliknya.” Kemudian, dia melanjutkan, “Agar tidak tercipta pandangan yang stereotip.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR