Nationalgeographic.co.id—Pada 2030, Indonesia, Filipina, Malaysia dan India berharap dapat menjadi contoh pelestarian hutan. Negara-negara ini memiliki komitmen untuk merestorasi lebih dari 47,5 juta hektar lahan dan hutan terdegradasi. Tapi mungkinkah hal itu dapat dilakukan?
Seperti diketahui, negara-negara tropis memang menyumbang lebih dari 80 persen komitmen restorasi lahan global hingga saat ini. Komitmen tersebut dibuat di bawah beberapa kerangka kerja termasuk Bonn Challenge and the New York Declaration on Forests.
Restorasi umumnya merupakan bagian dari komitmen pengurangan emisi di bawah UN Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) yang digelar beberapa waktu lalu di Glasgow, Skotlandia. Oleh karena itu, perintisan yang berhasil di wilayah (yang relatif) baru dalam pengelolaan lingkungan di daerah tropis ini sangat penting bagi keberhasilan restorasi lahan global.
Untuk Indonesia, selama ini di dunia internasional seringkali diasosiasikan sebagai poster anak untuk hilangnya hutan. Bahkan penghentian total perusakan bentang alam hanyalah bagian dari pertempuran untuk melawan perubahan iklim dan memulihkan banyak sekali ekosistem. Sementara komitmen mengakhiri deforestasi sangat penting untuk memperoleh citra tersebut. Yang secara sederhana dinyatakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, "membuat kehidupan manusia menjadi mungkin".
Memulihkan area yang begitu luas membutuhkan benih dalam jumlah besar, sesuatu yang cenderung diabaikan dalam komitmen restorasi. Sekarang, kekuatan dan kelemahan sistem pasokan benih untuk mendukung proyek restorasi berbasis pohon di Filipina, Indonesia, Malaysia dan India dievaluasi dalam publikasi baru di jurnal Diversity dengan judul "Are Tree Seed Systems for Forest Landscape Restoration Fit for Purpose? An Analysis of Four Asian Countries".
Peneliti memperkirakan bahwa sekitar 157 miliar benih yang digunakan untuk benih, bibit dan tanaman liar, di antara bahan regeneratif lainnya, setidaknya diperlukan untuk memenuhi target restorasi 47,5 juta hektar. Sementara studi ini menemukan tren yang menjanjikan seperti peningkatan dukungan dan pendanaan pemerintah.
Para peneliti menemukan setidaknya dua kekurangan yang memprihatinkan, kurangnya akses ke benih berkualitas dan peluang yang belum dimanfaatkan bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam pengadaan benih. Membersihkan kemacetan ini akan sangat penting untuk kesuksesan jangka panjang.
Chris Kettle, salah satu rekanan, penulis dan pemimpin global keanekaragaman hayati pohon di Alliance of Bioversity International dan CIAT mengatakan, penelitian mereka menunjukkan dengan sangat eksplisit bahwa ada keterbatasan besar pada kapasitas nasional untuk mewujudkannya dalam skala besar.
Lebih lanjut, peneliti mengatakan, untuk lebih memahami bagaimana organisasi tingkat nasional dari sistem benih pohon mempengaruhi upaya restorasi di lapangan, studi ini memprioritaskan konsultasi dengan orang-orang yang melaksanakan proyek restorasi di empat negara. "Respons mereka menunjukkan bahwa tantangan dalam memperoleh benih dari spesies dan asal yang mereka sukai cukup umum, dan informasi tentang kualitas benih seringkali tidak diberikan oleh pemasok benih. Ini mencerminkan kurangnya kontrol kualitas yang efektif di tingkat nasional dan menyoroti kebutuhan untuk meningkatkan arus informasi dalam sistem benih," kata Ennia Bosshard, penulis utama studi dari ETH Zurich.
Studi ini didasarkan pada penelitian serupa yang dilakukan di Amerika Latin yang mengusulkan serangkaian indikator untuk mengevaluasi sistem perbenihan nasional. Hal itu merupakan istilah umum untuk menggambarkan bagaimana fungsi penyediaan, distribusi, dan penggunaan benih dalam konteks atau lokasi tertentu.
"Memantau kemajuan kinerja sistem benih nasional untuk restorasi melalui serangkaian indikator global akan membantu negara mengevaluasi seberapa baik mereka mencapai tujuan restorasi," kata Evert Thomas, rekan penulis dari Aliansi. "Kami juga berharap pekerjaan ini memfasilitasi 'pembelajaran horizontal' di mana negara-negara yang berhasil dalam beberapa indikator dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk lebih meningkatkan sistem benih mereka."
Baca Juga: Mencari Miliaran Benih Jadi Tantangan Restorasi Hutan di Indonesia
Source | : | eurekalert,Diversity Journal |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR