Saat ini, ketika seseorang didiagnosis terinfeksi HIV, ia akan diminta memilih beberapa dari 41 jenis obat yang bisa mengatasi penyakitnya.
Ada kemungkinan jika kombinasi obatnya tepat dan diberikan pada waktu yang tepat, maka obat itu bisa membuat level virus HIV tetap rendah sehingga pasien tidak akan pernah sakit.
Setelah infeksi HIV ditemukan, dibutuhkan waktu sekitar 7 tahun sebelum obat pertama untuk penyakit ini disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA).
Pada awal-awal penyakit ini dikenali, jutaan orang sudah terinfeksi dan beberapa ribu orang meninggal dunia. Para ahli berkejaran dengan waktu untuk menemukan obat agar angka kematian bisa ditekan.
Senjata pertama untuk melawan HIV adalah AZT atau Azidothymidine yang mulanya dikembangkan di tahun 1960-an oleh ilmuwan Amerika untuk mengobati kanker.
Kandungan di dalam AZT dibuat agar bisa masuk ke dalam DNA sel kanker dan mengacaukan kemampuan sel kanker memperbanyak diri dan memproduksi lebih banyak sel tumor. Tetapi, dalam uji coba pada tikus obat ini tidak bekerja sesuai harapan.
Dua dekade kemudian, setelah AIDS berkembang menjadi penyakit menular, sebuah perusahaan farmasi Burroughs Wellcome, yang dikenal sebagai produsen obat antivirus, mulai aktif menguji agen anti-HIV yang potensial.
Mereka menguji beberapa kandidat obat dan berharap salah satunya cukup efektif melawan virus HIV. Salah satu yang dites adalah sesuatu yang disebut Compound S, versi terbaru dari AZT. Saat zat tersebut dicobakan pada sel hewan yang terinfeksi HIV, ternyata mampu menghambat aktivitas virus.
Menyadari ada hasil yang signifikan, perusahaan itu lalu mengirimkan sampel ke FDA dan National Cancer Institute.
Namun, memiliki zat yang bisa melawan HIV saja belum cukup. Untuk memastikan obat ini bisa dipakai oleh jutaan orang yang terinfeksi HIV harus dipastikan keamanannya, tidak ada efek samping berbahaya, dan juga memang bisa menghambat HIV walau tidak mengobati. Pada saat itu, pengujian semacam itu dibutuhkan waktu 10 tahun sebelum bisa disetujui FDA.
Tentu saja orang yang sekarat karena AIDS tidak bisa menunggu selama itu. Di bawah tekanan publik, akhirnya FDA meninjau AZT lewat jalur cepat.
Para ahli kemudian mulai menginjeksi AZT pada pasien. Target awalnya untuk melihat apakah aman, dan walau menyebabkan beberapa efek samping (gangguan sistem imun, mual, pusing, dan sakit kepala), tetapi obat ini relatif aman.
Mereka juga mulai menguji efektivitas obat. Dalam sebuah uji kontroversial, FDA meneliti pada 300 orang yang sudah terdiagnosis AIDS. Penelitian dilakukan secara acak dengan memberikan kapsul AZT atau pil gula pada pasien untuk dibandingkan hasilnya.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR