Hari ini, nama Devillers & Co. memang nyaris tidak dikenal lagi di Belanda. Perusahaan ini memang pernah dikenal sebagai salah satu perusahaan bergengsi yang mengerjakan berbagai pesanan dari monumen sampai batu nisan. Salah satu tengara kota yang pernah dibangun Devillers & Co. adalah monumen kebanggaan nasional di Scheveningen, Belanda. Warga menjulukinya “De Gedenknaald in Scheveningen”. Monumen yang juga berbentuk obelisk itu mengenang kepergian Pangeran William V ke pengasingannya pada 1795 dan sekaligus mengenang kedatangan Frederick William I di Scheveningen pada November 1813. Kerajaan meresmikannya pada 1865—dua tahun jelang wafatnya Prins.
Olivier Johannes Raap, seorang pemerhati sejarah Indonesia yang tinggal di Delft, melayangkan surelnya kepada saya. "P.J. Devillers & Co adalah perusahaan pemahat batu. Bengkelnya beralamat di jalan yang sekarang menjadi Oranjebuitensingel, dekat Centraal Station di Den Haag," ungkapnya.Perusahaan itu muncul sekitar awal 1860-an, demikian imbuh Olivier. Catatan tentang Devillers lainnya, dia pernah membeli tambang batu marmer di Saint Hubert, Belgia. "Devillers adalah nama Prancis. Ia kemungkinan berasal dari Belgia atau Prancis."
“Meski dia hidup di zaman kolonial,” ujar Lilie, “tetapi nuansa masa kejayaan kompeni (VOC) masih tampak dalam kepribadiannya.” Pendapat Lilie didasarkan pada batu nisan Prins yang masih menyertakan lambang heraldik keluarganya, kendati pada makam sezaman sudah tidak digunakan lagi. “Ia adalah seorang pengikut Calvinis liberal,” imbuhnya sembari menununjuk batu nisan Prins yang penuh dengan simbol, baik kristiani maupun bukan kristiani.
Dia menunjukkan ukiran perisai dan segala isinya yang merupakan lambang heraldik, dan biasanya dimiliki oleh keluarga bangsawan.
“Perisai ini lambang laki-laki,” kata Lilie sembari menunjuk lambang yang dimaksud. “ Zirah ini ada kalung berliontin salib. Dia pakai helm, yang menunjukkan dia warga kesatria, bangsawan.” Batu nisan Prins ingin menunjukkan betapa tinggi status sosialnya di Hindia-Belanda pada masa kolonial.
Batu nisan obelisk Ary Prins bertabur ragam lambang heraldik. Di Hindia Belanda, tradisi nisan berlambang heraldik marak dijumpai pada nisan-nisan pada zaman VOC (sekitar abad ke-17 sampa akhir abad ke-18). Kendati, Prins wafat pada pertengahan abad ke-19, nisannya dihiasi beragam simbol heraldik. Pertanyaannya, mengapa keluarganya menghias monumen ini dengan lambang heraldik, yang sejatinya tak lagi menjadi tradisi di Hindia Belanda?
Siapa sejatinya Ary Prins?
Di Galeri Nasional Indonesia pada Juni 2012, saya berdiri termangu memandangi goresan-goresan kuas Raden Saleh Sjarif Boestaman. Untuk kali pertama karya-karya sang maestro dikumpulkan dan dipamerkan untuk publik. Saleh dikenal sebagai seorang maestro seni lukis dan sekaligus pionir seni lukis modern Indonesia. Lukisan potret sosok lelaki muda berjas hitam dalam bingkai kayu yang tebal itu dipamerkan bersama lukisan karya Saleh lainnya dalam "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia." Di sinilah saya menyaksikan potret Ary Prins untuk pertama kalinya.
Ketika berusia 22 tahun, Ary Prins berkesempatan dilukis oleh Raden Saleh. Kebetulan sang maestro lukis itu tengah berada di Belanda. Di pojok kanan atas tertanda "R. Saleh 1838" sebanyak dua kali. Lukisan ini terjual senilai hampir 20 ribu dolar AS di balai lelang Christie's.
Sayangnya, asal usul Ary Prins memang tak begitu banyak terungkap. Saya menemukan arsip usang berjudul Nieuw Nederlandsch biografisch woordenboek yang disusun oleh Petrus Johannes Blok Blok dan Philipp Christiaan Molhuysen pada 1914. Di buku itu dijelaskan tentang riwayat Ary Prins. Ayahnya ternyata juga bernama Ary Prins, dan ibundanya bernama Jacoba Helena Hamel. Ayah Prins merupakan pengusaha dan pemilik kapal, wakil konsul Denmark, dan anggota Dewan Kotapraja Schiedam.
Ayah mertua Prins itu juga pernah menjabat sebagai Residen Manado, yang mengawasi pemindahan Pangeran Dipanagara dari Fort Amsterdam di Manado ke Fort Rotterdam di Makassar.
Tampaknya, Prins memang dilahirkan dari latar belakang keluarga berada. Bukan perkara garib lagi apabila dia bisa meraih pendidikan ilmu hukum di Universiteit Leiden pada 14 Mei 1838. Judul desertasi pemuda 21 tahun itu adalah Sponsalibus, secundum jus antiquum Hollandicum, yang menyelisik perkara perjodohan dalam budaya Belanda kuno.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR