Kira-kira hampir setahun setelah lulus kuliah, Prins tiba di Hindia Belanda pada 6 Maret 1839. Sejak kakinya berjejak di Tanah Jawa, riwayat kariernya begitu dinamis. Selepas dua minggu, dia diangkat sebagai notulis tersumpah di Raad van Justitie (kini Pengadilan Tinggi) di Surabaya. Empat bulan berikutnya, dia sudah nangkring sebagai panitera dan bendahara di Rechtbank van Omgang (Pengadilan Negeri) di Semarang.
Di Surabaya, Prins menikahi Marie Anne Pietermaat pada 29 April 1840. Marie adalah putri dari pasangan Daniël François Willem Pietermaat dan Johanna Magdalena Ringeling. Saat itu Daniël menjabat sebagai Residen Surabaya. Ayah mertua Prins itu juga pernah menjabat sebagai Residen Manado, yang mengawasi pemindahan Pangeran Dipanagara dari Fort Amsterdam di Manado ke Fort Rotterdam di Makassar. Kelak, Marie Anne Pietermaat meninggal lebih dahulu di Semarang pada 17 Juli 1864.
Selama 1841 hingga 1842, Prins bermukim di Kota Padang. Dia menjabat sebagai notulis di Raad van Justitie di kota itu. Dia juga naik pangkat sebagai bendahara di kantor yang sama, bahkan sempat menjabat sebagai jaksa militer.
Namun, awal tahun berikutnya, Prins kembali ke Surabaya yang merupakan kota awal kariernya. Namun, kini Prins memiliki jabatan yang lebih tinggi, yakni sebagai anggota Raad van Justitie—bukan notulis lagi. Pada Mei 1845, dia pindah ke Batavia dengan jabatan yang sama.
Di Batavia, karirnya merangkak menuju puncak. Pada November 1846, dia mendapat amanat untuk bekerja sebagai notulis di Hooggerechtshof (Mahkamah Agung). Kelak, pada 1848, Hooggerechtshof pindah ke sebuah bangunan berpilar megah yang menghadap Waterlooplein, kini Lapangan Banteng. Angin sejuk kembali mengembuskan karier Prins sebagai hakim tinggi di Hooggerechtshof sejak Februari 1849. Dua tahun kemudian, dia menjabat sebagai sekretaris jenderal di lembaga yang sama.
Di Kalimantan bagian barat, pemberontakan orang-orang Cina pecah pada 1850. Perkaranya, orang-orang Cina, yang umumnya bekerja menambang emas dan berdagang candu itu menolak membayar pajak. Bahkan, di Distrik Sambas, mereka mendirikan republik pertama di Asia Tenggara: Kongsi Langfang.
Sebagai komisaris pemerintah, Prins dikirim ke Kalimantan bagian barat dan berjejak di Sambas pada Februari 1853. Setelah menyelidiki situasi permasalahan di sana, dia menganggap perlu adanya ekspedisi ke Sepawang oleh pasukan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Sepawang dapat dikuasai tanpa kesulitan berarti. Ketika Prins hendak meninggalkan Sepawang, tiba-tiba rumahnya diserang para pemberontak Cina. Dia selamat lantaran ada detasemen militer yang tanpa sengaja menjumpai peristiwa itu. Pada Mei, Prins kembali ke Sambas dan menuju Batavia. Atas usulannya, muara-muara sungai di kawasan yang bergejolak itu mulai diblokade oleh KNIL.
Prins membuat peraturan pertama untuk jawatan kereta api di Hindia Belanda, namun dia tak menyaksikan pertama kalinya roda-roda kereta api menggelinding di Jawa pada 10 Agustus 1867.
Letnan Kolonel Augustus Johannes Andresen, kelak menjabat sebagai Komandan KNIL pada periode 1865-1869, berhasil memberangus pemberontakan Cina. Sekali lagi, Prins dikirim ke pantai barat Kalimantan. Dia mengatur pemerintahan dan mengadakan kontrak-kontrak baru dengan raja di sepanjang Sungai Kapuas. Ketika dia tiba pada Juli 1854, pemberontakan kembali pecah di Monterado, kini Kabupaten Bengkayang. Pada masa itu, Monterado memang pusat pertambangan emas di pantai barat Kalimantan. Prins hanya perlu sekali lagi kembali ke kawasan ini pada tahun berikutnya untuk memastikan pemberontakan telah sepenuhnya padam. Kelak, dia diangkat menjadi anggota Raad van Indie atau Dewan Hindia Belanda pada April 1856.
Tampaknya, pada usia awal 40-an, Prins mulai sakit-sakitan. Pada 1858 dia menggunakan cuti sebagai anggota Raad van Indie selama setengah tahun untuk berobat sekaligus pulang kampung ke Belanda.
Selepas cuti berobat, Prins mulai menjabat sebagai wakil presiden sementara Raad van Indie sejak Maret hingga Agustus 1859. Baru pada Januari tahun berikutnya, dia resmi diangkat secara tetap untuk jabatan tadi.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR