Nationalgeographic.co.id - “Ini apa, ya?” tanya Lilie Suratminto sembari membungkuk dan membetulkan letak kacamatanya. Kemudian, dia berjongkok untuk meraba goresan aksara yang terbalut lumut. “Coba disiram air sedikit,” pinta Lilie kepada saya.
Saya segera membuka ransel untuk mengeluarkan botol bekal air minum. Selepas menuangkan sedikit air di tutup botol, saya menyiramkan ke permukaan dinding di kaki nisan berbentuk obelisk. Lantaran aksara-aksara halus itu tak kunjung terbaca, saya menyiramnya sekali lagi dan menggosoknya dengan kertas tisu.
Lilie Suratminto merupakan pakar lambang heraldik dan pengajar senior Program Studi Bahasa Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia. Kami tengah memandangi nisan berbentuk obelisk yang menjulang di permakaman tua, tepian Kebun Raya Bogor. Kawasan kebun botani seluas 87 haktare itu berada dalam naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Baca Juga : Sepuluh Makanan yang Bisa Menangkal Penyakit di Musim Hujan
Obelisk, dalam tradisi Eropa, kerap dihubungkan dengan lambang kekuasaan dan kemegahan. Satu setengah abad berlalu, dan nisan ini masih menjadi nisan tertinggi dan termegah yang pernah saya lihat seantero Bogor.
“Nah kelihatan kan!” seruan Lilie yang menunjukkan bahwa pekerjaan kami baru saja bermula. Lalu, dia termenung sambil bertanya-tanya, “Apa bacanya?”
“Ini ‘D’ ya... sebentar De...villers... Apa ya?” ujarnya sambil berkali-kali meraba aksara yang dibingkai garis dengan hiasan kerang di setiap sudutnya. “Devillers & Co!” pekiknya.
Di sisi lainnya, Lilie juga menemukan goresan aksara tipis yang berbalut lumut. Seperti cara sebelumnya, saya menyiramnya dengan air, lalu menggosoknya dengan kertas tisu. Kali ini lebih mudah terbaca. Kami pun membacanya nyaris bersamaan, “‘S Gravenhage!”—nama lama dari Den Haag.
“Ini kayaknya pembuatnya ya,” sambung Lilie. “Keluarganya memesan nisan ini dari luar Batavia. Ini bikinan Den Haag, dia memang kaya raya.”
Inskripsi pada marmer obelisk itu mengungkapkan sosok "MR. A. Prins". Namanya terukir dengan gelar doktor bidang hukum, Meester in de Rechten Ary Prins. Dia lahir di Schiedam pada Rabu, 28 Agustus 1816. Jabatan terakhir Prins adalah wakil presiden Dewan Hindia Belanda. Prins wafat pada usia 50 tahun di Batavia pada Senin, 28 Januari 1867, dan dimakamkan di kebun botani ini. Dalam inskripsi itu juga tertulis bahwa tugu pengingat ini dibangun sebagai bentuk penghormatan dari jandanya, anak dan anak angkatnya, kawan dan para pengagumnya.
Pastilah, keluarga Ary Prins merupakan keluarga kaya dan terpandang. Keluarga dan kolega Prins memesan nisan obelisk ini kepada Devillers & Co dengan biaya yang tidak murah. Nisannya harus dikirimkan lewat kapal dari Rotterdam ke Sunda Kelapa, Batavia. Setelah diturunkan dari kapal, nisan ini melanjutkan perjalanannya ke Bogor dengan kereta yang dihela beberapa kuda.
Hari ini, nama Devillers & Co. memang nyaris tidak dikenal lagi di Belanda. Perusahaan ini memang pernah dikenal sebagai salah satu perusahaan bergengsi yang mengerjakan berbagai pesanan dari monumen sampai batu nisan. Salah satu tengara kota yang pernah dibangun Devillers & Co. adalah monumen kebanggaan nasional di Scheveningen, Belanda. Warga menjulukinya “De Gedenknaald in Scheveningen”. Monumen yang juga berbentuk obelisk itu mengenang kepergian Pangeran William V ke pengasingannya pada 1795 dan sekaligus mengenang kedatangan Frederick William I di Scheveningen pada November 1813. Kerajaan meresmikannya pada 1865—dua tahun jelang wafatnya Prins.
Olivier Johannes Raap, seorang pemerhati sejarah Indonesia yang tinggal di Delft, melayangkan surelnya kepada saya. "P.J. Devillers & Co adalah perusahaan pemahat batu. Bengkelnya beralamat di jalan yang sekarang menjadi Oranjebuitensingel, dekat Centraal Station di Den Haag," ungkapnya.Perusahaan itu muncul sekitar awal 1860-an, demikian imbuh Olivier. Catatan tentang Devillers lainnya, dia pernah membeli tambang batu marmer di Saint Hubert, Belgia. "Devillers adalah nama Prancis. Ia kemungkinan berasal dari Belgia atau Prancis."
“Meski dia hidup di zaman kolonial,” ujar Lilie, “tetapi nuansa masa kejayaan kompeni (VOC) masih tampak dalam kepribadiannya.” Pendapat Lilie didasarkan pada batu nisan Prins yang masih menyertakan lambang heraldik keluarganya, kendati pada makam sezaman sudah tidak digunakan lagi. “Ia adalah seorang pengikut Calvinis liberal,” imbuhnya sembari menununjuk batu nisan Prins yang penuh dengan simbol, baik kristiani maupun bukan kristiani.
Dia menunjukkan ukiran perisai dan segala isinya yang merupakan lambang heraldik, dan biasanya dimiliki oleh keluarga bangsawan.
“Perisai ini lambang laki-laki,” kata Lilie sembari menunjuk lambang yang dimaksud. “ Zirah ini ada kalung berliontin salib. Dia pakai helm, yang menunjukkan dia warga kesatria, bangsawan.” Batu nisan Prins ingin menunjukkan betapa tinggi status sosialnya di Hindia-Belanda pada masa kolonial.
Batu nisan obelisk Ary Prins bertabur ragam lambang heraldik. Di Hindia Belanda, tradisi nisan berlambang heraldik marak dijumpai pada nisan-nisan pada zaman VOC (sekitar abad ke-17 sampa akhir abad ke-18). Kendati, Prins wafat pada pertengahan abad ke-19, nisannya dihiasi beragam simbol heraldik. Pertanyaannya, mengapa keluarganya menghias monumen ini dengan lambang heraldik, yang sejatinya tak lagi menjadi tradisi di Hindia Belanda?
Siapa sejatinya Ary Prins?
Di Galeri Nasional Indonesia pada Juni 2012, saya berdiri termangu memandangi goresan-goresan kuas Raden Saleh Sjarif Boestaman. Untuk kali pertama karya-karya sang maestro dikumpulkan dan dipamerkan untuk publik. Saleh dikenal sebagai seorang maestro seni lukis dan sekaligus pionir seni lukis modern Indonesia. Lukisan potret sosok lelaki muda berjas hitam dalam bingkai kayu yang tebal itu dipamerkan bersama lukisan karya Saleh lainnya dalam "Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia." Di sinilah saya menyaksikan potret Ary Prins untuk pertama kalinya.
Ketika berusia 22 tahun, Ary Prins berkesempatan dilukis oleh Raden Saleh. Kebetulan sang maestro lukis itu tengah berada di Belanda. Di pojok kanan atas tertanda "R. Saleh 1838" sebanyak dua kali. Lukisan ini terjual senilai hampir 20 ribu dolar AS di balai lelang Christie's.
Sayangnya, asal usul Ary Prins memang tak begitu banyak terungkap. Saya menemukan arsip usang berjudul Nieuw Nederlandsch biografisch woordenboek yang disusun oleh Petrus Johannes Blok Blok dan Philipp Christiaan Molhuysen pada 1914. Di buku itu dijelaskan tentang riwayat Ary Prins. Ayahnya ternyata juga bernama Ary Prins, dan ibundanya bernama Jacoba Helena Hamel. Ayah Prins merupakan pengusaha dan pemilik kapal, wakil konsul Denmark, dan anggota Dewan Kotapraja Schiedam.
Ayah mertua Prins itu juga pernah menjabat sebagai Residen Manado, yang mengawasi pemindahan Pangeran Dipanagara dari Fort Amsterdam di Manado ke Fort Rotterdam di Makassar.
Tampaknya, Prins memang dilahirkan dari latar belakang keluarga berada. Bukan perkara garib lagi apabila dia bisa meraih pendidikan ilmu hukum di Universiteit Leiden pada 14 Mei 1838. Judul desertasi pemuda 21 tahun itu adalah Sponsalibus, secundum jus antiquum Hollandicum, yang menyelisik perkara perjodohan dalam budaya Belanda kuno.
Kira-kira hampir setahun setelah lulus kuliah, Prins tiba di Hindia Belanda pada 6 Maret 1839. Sejak kakinya berjejak di Tanah Jawa, riwayat kariernya begitu dinamis. Selepas dua minggu, dia diangkat sebagai notulis tersumpah di Raad van Justitie (kini Pengadilan Tinggi) di Surabaya. Empat bulan berikutnya, dia sudah nangkring sebagai panitera dan bendahara di Rechtbank van Omgang (Pengadilan Negeri) di Semarang.
Di Surabaya, Prins menikahi Marie Anne Pietermaat pada 29 April 1840. Marie adalah putri dari pasangan Daniël François Willem Pietermaat dan Johanna Magdalena Ringeling. Saat itu Daniël menjabat sebagai Residen Surabaya. Ayah mertua Prins itu juga pernah menjabat sebagai Residen Manado, yang mengawasi pemindahan Pangeran Dipanagara dari Fort Amsterdam di Manado ke Fort Rotterdam di Makassar. Kelak, Marie Anne Pietermaat meninggal lebih dahulu di Semarang pada 17 Juli 1864.
Selama 1841 hingga 1842, Prins bermukim di Kota Padang. Dia menjabat sebagai notulis di Raad van Justitie di kota itu. Dia juga naik pangkat sebagai bendahara di kantor yang sama, bahkan sempat menjabat sebagai jaksa militer.
Namun, awal tahun berikutnya, Prins kembali ke Surabaya yang merupakan kota awal kariernya. Namun, kini Prins memiliki jabatan yang lebih tinggi, yakni sebagai anggota Raad van Justitie—bukan notulis lagi. Pada Mei 1845, dia pindah ke Batavia dengan jabatan yang sama.
Di Batavia, karirnya merangkak menuju puncak. Pada November 1846, dia mendapat amanat untuk bekerja sebagai notulis di Hooggerechtshof (Mahkamah Agung). Kelak, pada 1848, Hooggerechtshof pindah ke sebuah bangunan berpilar megah yang menghadap Waterlooplein, kini Lapangan Banteng. Angin sejuk kembali mengembuskan karier Prins sebagai hakim tinggi di Hooggerechtshof sejak Februari 1849. Dua tahun kemudian, dia menjabat sebagai sekretaris jenderal di lembaga yang sama.
Di Kalimantan bagian barat, pemberontakan orang-orang Cina pecah pada 1850. Perkaranya, orang-orang Cina, yang umumnya bekerja menambang emas dan berdagang candu itu menolak membayar pajak. Bahkan, di Distrik Sambas, mereka mendirikan republik pertama di Asia Tenggara: Kongsi Langfang.
Sebagai komisaris pemerintah, Prins dikirim ke Kalimantan bagian barat dan berjejak di Sambas pada Februari 1853. Setelah menyelidiki situasi permasalahan di sana, dia menganggap perlu adanya ekspedisi ke Sepawang oleh pasukan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Sepawang dapat dikuasai tanpa kesulitan berarti. Ketika Prins hendak meninggalkan Sepawang, tiba-tiba rumahnya diserang para pemberontak Cina. Dia selamat lantaran ada detasemen militer yang tanpa sengaja menjumpai peristiwa itu. Pada Mei, Prins kembali ke Sambas dan menuju Batavia. Atas usulannya, muara-muara sungai di kawasan yang bergejolak itu mulai diblokade oleh KNIL.
Prins membuat peraturan pertama untuk jawatan kereta api di Hindia Belanda, namun dia tak menyaksikan pertama kalinya roda-roda kereta api menggelinding di Jawa pada 10 Agustus 1867.
Letnan Kolonel Augustus Johannes Andresen, kelak menjabat sebagai Komandan KNIL pada periode 1865-1869, berhasil memberangus pemberontakan Cina. Sekali lagi, Prins dikirim ke pantai barat Kalimantan. Dia mengatur pemerintahan dan mengadakan kontrak-kontrak baru dengan raja di sepanjang Sungai Kapuas. Ketika dia tiba pada Juli 1854, pemberontakan kembali pecah di Monterado, kini Kabupaten Bengkayang. Pada masa itu, Monterado memang pusat pertambangan emas di pantai barat Kalimantan. Prins hanya perlu sekali lagi kembali ke kawasan ini pada tahun berikutnya untuk memastikan pemberontakan telah sepenuhnya padam. Kelak, dia diangkat menjadi anggota Raad van Indie atau Dewan Hindia Belanda pada April 1856.
Tampaknya, pada usia awal 40-an, Prins mulai sakit-sakitan. Pada 1858 dia menggunakan cuti sebagai anggota Raad van Indie selama setengah tahun untuk berobat sekaligus pulang kampung ke Belanda.
Selepas cuti berobat, Prins mulai menjabat sebagai wakil presiden sementara Raad van Indie sejak Maret hingga Agustus 1859. Baru pada Januari tahun berikutnya, dia resmi diangkat secara tetap untuk jabatan tadi.
Inilah prestasi puncaknya, dia pernah menjabat gubernur jenderal sementara selama dua periode. Pertama, pada periode 2 September – 19 Oktober 1861, saat Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Mortanges lengser dan menanti peggantinya yang didatangkan dari Belanda, Ludolph Anne Jan Wilt baron Sloet van de Beele. Kedua, pada periode 25 Oktober – 28 Desember 1866, saat Gubernur Jenderal Sloet van den Belle lengser dan menanti penggantinya Pieter Mijer yang juga didatangkan dari Belanda.
Selepas Prins menjabat sebagai gubernur jenderal sementara pada peridoe pertama, Marie Anne Pietermaat, istri Prins, wafat di Semarang pada 17 Juli 1864. Dari perkawinannya yang pertama lahir empat orang putra dan tiga orang putri. Kira-kira dua tahun kemudian, Prins menikah lagi dengan Anna Catharina van der Leeuw pada 10 Maret 1866 di Buitenzorg. Anna merupakan putri pasangan Adrianus van der Leeuw, pengusaha perkebunan kopi di Jawa, dan Cornelia Langewagen. Prins memiliki seorang putri dari pernikahannya yang kedua.
Selama menjabat sebagai gubernur jenderal sementara untuk kedua kalinya, Prins membuat pertama kalinya anggaran belanja Hindia Belanda ditetapkan melalui undang-undang. Prins juga mereorganisasi kementerian administrasi umum, dan mengesahkan peraturan umum pertama untuk jawatan kereta api di Hindia Belanda. Prins membuat peraturan tersebut, namun dia tak menyaksikan pertama kalinya roda-roda kereta api menggelinding di Jawa pada 10 Agustus 1867. Sayang, dia tidak menikmati peradaban kereta api yang mengubah wajah Jawa. Namun, setidaknya, pada Desember 1866, ketika kesehatan Prins mulai memburuk, sambungan telegraf antara Sumatra dan Jawa telah rampung.
Kenapa Prins tidak kunjung diangkat sebagai gubernur jenderal? Padahal, Prins mungkin lebih memahami persoalan di Hindia Belanda daripada pejabat yang baru datang dari Belanda.
“Kerajaan membenci kaum liberal,” ujar Lilie memberi alasan. Kendati Prins berada di Batavia, “dia terlibat dalam kegiatan gerakan Revolusi Mei 1848 yang bergejolak di Belanda.”
Prins merupakan anggota komisi redaksi yang menghasilkan keputusan rapat umum yang diselenggarakan di Batavia pada 22 Mei 1848. Hasil keputusan mereka dikirimkan kepada Raja. Belakangan, Prins dituduh turut terlibat dalam pergolakan politik di Belanda pada Mei 1848. Kelak beberapa tahun kemudian, tuduhan ini menghalangi langkahnya untuk duduk di kursi gubernur jenderal. Karier memang mengajak Prins untuk berada di pusaran politik. Apakah ini sebuah tuduhan berdasar fakta atau kabar dusta?
“Kerajaan membenci kaum liberal,” ujar Lilie memberi alasan. Kendati Prins berada di Batavia, “dia terlibat dalam kegiatan gerakan Revolusi Mei 1848 yang bergejolak di Belanda.”
Menurut asumsi Lilie, pertemuan rapat di Batavia itu terkait dengan keterlibatannya dalam pemberontakan 1848. “Dia termasuk yang liberal,” ungkap Lilie. Sang rajalah yang memutuskan siapa orang yang tepat untuk jabatan gubernur jenderal. Dalam hal ini, ujarnya, Raja tidak menyukai liberalisme karena pemikiran itu akan mengikis kekuasaannya. “Itu ancaman bagi raja.”
Lilie mengibaratkan nasib Prins layaknya Deandels. “Kenapa Daendels tidak dipuja-puja di Belanda?” ujarnya sembari beretorika. “Pada Revolusi Prancis, Daendels termasuk yang mengudeta. Siapa yang dikudeta? Rajanya, yang lari ke Inggris.” Sebaliknya, siapa pun yang berpihak kepada raja akan dianggap memiliki keloyalan sehingga cenderung mendapatkan kesempatan jabatan.
Setelah Prins menyerahkan jabatannya sebagai gubernur jenderal sementara, kondisi kesehatannya kian memburuk. Sejak 10 Desember 1866, anggota tertua Dewan Hindia Belanda harus bertanggung jawab dengan kebijakan urusan harian mereka. Sekitar satu setengah bulan kemudian dia wafat di Batavia.
Prins wafat di Batavia. Mengapa dia dimakamkan di permakaman di kebun botani—rerimbunan rumpun bambu samping kediaman gubernur jenderal?
Pada masa akhir hidupnya, Ary Prins lebih banyak bekerja di kantor kegubernuran Hindia-Belanda di Bogor. Tampaknya, ungkap Lilie, atas alasan itulah jenazahnya juga disemayamkan di permakaman para pejabat Belanda di kebun botani tertua seantero Asia Tenggara itu.
“Itu adalah tempat yang sangat bergengsi pada waktu itu,” kata Lilie. “Apalagi Ary Prins semasa hidupnya sebanyak dua kali menjadi pejabat gubernur—sebuah jabatan yang sangat presticius.”
Prins mungkin pejabat yang malang. Lilie menduga kariernya tersandung urusan politik. Keluarga dan orang-orang terdekatnya mengenang Prins lewat batu nisan yang didesain layaknya monumen megah dengan beragam simbol.
Batu nisannya lebih megah ketimbang batu nisan lainnya di permakaman itu. Bahkan, jauh lebih megah ketimbang batu nisan milik Gubernus Jenderal Dominique Jacques de Eerens.
Di tubuh obelisk, Lilie menunjuk ukiran kupu-kupu yang hadir di setiap sisi. Satwa itu dibuat dengan tingkat kerumitan tinggi, yang dibingkai krans atau karangan bunga berlilitkan pita menjuntai. “Jadi perjalanan hidupnya diikat dengan pita,” ujar Lilie kepada saya. “Begitu dia meninggal, dilambangkan dengan krans.”
Kemudian Lilie menambahkan tentang makna krans yang dililit pita. Itu bisa berarti bahwa kendati sudah wafat, Prins masih diikat hubungan batin dengan keluarga yang ditinggalkannya. “Itulah mengapa biasanya kita mengikat kado dengan pita,” kata Lilie. “Karena pita melambangkan persahabatan yang abadi.”
Lilie menjelaskan lambang-lambang heraldik yang menghiasi sisi demi sisi obelisk Ary Prins. Ia menunjuk simbol ouroboros, ular yang menggigit ekornya sendiri. Awalnya digunakan pada masa Mesir kuno dan kemudian menyebar ke Eropa lewat Yunani. Lambang ini merujuk pada siklus pinciptaan dan kehancuran alam semesta, siklus kehidupan yang tak pernah berakhir. "Maknanya, keabadian," ujarnya.
Simbol lainnya adalah lampu, yang kerap dikaitkan dengan penerangan atau ayat-ayat dalam Alkitab. "Maknanya," ujar Lilie, "Prins dikenang sebagai sosok yang memiliki cahaya kehidupan dan spiritualitas."
"Bintang segi enam," ujarnya sembari mendongak, " merujuk pada penunjuk arah di waktu malam." Makna lainnya, gabungan dua unsur yang berbeda—seperti keras dan lembut—yang bermakna "keseimbangan atau harmoni."
Kami mundur beberapa jengkal dari nisan tersebut, sehingga memungkinkan untuk melihat bagian puncaknya: vas dengan kain menjuntai dan krans. "Pertama, vas dengan kain menjuntai merujuk pada tempat roh dan simbol kematian. Maknanya, kehidupan setelah wafat." Kemudian ia melanjutkan, "Kedua, krans simbol persembahan untuk orang yang dicintai. Maknanya, ikatan jiwa abadi."
Batu nisan Ary Pris memang lebih megah ketimbang batu nisan lainnya di permakaman itu. Bahkan, jauh lebih megah ketimbang batu nisan milik Gubernus Jenderal Dominique Jacques de Eerens (1781-1840) yang berada di sebelahnya.
Lambang-lambang di nisan Prins sebenarnya merupakan bentuk sebuah iklan keluarga, sebuah status sosial. “Bentuknya besar dan tinggi, menunjukkan sesuatu yang luar biasa,” kata Lilie. “Sebenarnya, menurut saya ini berlebih-lebihan.”
“Di sini ada persoalan semiotika,” ujarnya. “Batu nisannya secara simbolik ingin menunjukkan kepada khalayak: ‘akulah yang paling kuat, paling besar, dan paling berkuasa,’ kendati pemerintah tidak mengakui.”
“Batu nisan itu sangat ekspresif,” kata Lilie. “Nisan bisa menunjukkan kisah hidupnya. Keinginan keluarganya setelah meninggal pun terceritakan.”
Kisah penyelisikan sejarah nisan Ary Prins ini diungkap untuk memperingati 200 tahun Kebun Raya Bogor pada 2017. Versi pendeknya terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2017.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR