Pada Agustus lalu, beredar viral berita mengenai sekelompok pengungsi asal Afghanistan dan Somalia yang menginap di trotoar di luar rumah detensi Kalideres, Jakarta Barat. Keadaan mereka menyedihkan karena sudah berhari-hari tidur beratapkan langit dan makan dari budi baik orang yang lewat.
Termasuk di antara mereka adalah tiga anak berusia di bawah lima tahun (balita). Salah satu organisasi yang bergegas memberi bantuan kepada mereka adalah Karitas Indonesia atau Karina, lembaga sosial milik Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Direkturnya, Romo Suyadi SJ, tidak bisa tinggal diam menerima kabar sedih itu meski mandat lembaga yang dipimpinnya tidak langsung bersinggungan dengan persoalan pengungsi.
“Bukankah Paus Fransiskus sudah berkali-kali bicara mengenai pengungsi dan meminta kita berbuat sesuatu?” demikian dia menjawab ketika saya konfirmasi mengenai mandat itu.
Paus Fransiskus adalah satu dari sedikit pemimpin dunia yang saat ini bersuara lantang membela hak para pengungsi ketika situasi politik dan ekonomi sungguh-sungguh memojokkan mereka. Tapi apa artinya suara dari seorang pemimpin agama yang tidak punya kementerian sosial, apalagi pasukan perdamaian untuk menghentikan konflik? Apalagi di Indonesia, umatnya hanya minoritas dan belum tentu setuju dengan prioritasnya.
(Baca juga: 10 Manusia Paling Berkuasa di Bumi)
Pada Juni tahun ini, Paus Fransiskus memulai tradisi baru yaitu mencanangkan Hari Orang Miskin Sedunia yang akan jatuh pada 19 November 2017 atau pada hari Minggu ketiga November setiap tahun.
Pemimpin tertinggi Katolik sebelumnya juga pernah mencanangkan hal serupa. Pius X (1914) menciptakan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia. Paulus VI (1967) memulai Hari Perdamaian Sedunia. Yohanes Paulus II terkenal dengan Hari Kaum Muda Sedunia sejak 1984. Sebelum ini Paus Fransiskus pada 2015 juga pernah mencanangkan Hari Doa Sedunia bagi Pemeliharaan Ciptaan.
Hari-hari istimewa itu dibuat dengan maksud agar umat Katolik menaruh perhatian khusus untuk perkara-perkara yang dianggap penting oleh gereja dan berbuat sesuatu untuk menanggapi keprihatinan itu. Dengan Hari Orang Miskin Sedunia, Paus Fransiskus berharap agar “komunitas Kristiani di seluruh dunia dapat menjadi tanda yang makin jelas bagi belas kasih Kristus kepada yang paling kecil dan membutuhkan.”
Gereja Katolik bukanlah negara dengan kekuatan militer dan birokrasi yang konkret. Juga bukan perusahaan atau LSM internasional dengan kekuatan dana yang tak terbatas. Kekuatan Gereja Katolik terletak pada kemampuannya untuk membujuk para penganutnya dan masyarakat untuk memandang dunia dengan kacamata moral tertentu, lalu bertindak sesuai dengan keyakinan nurani yang dalam. Dengan legitimasi moral, daya tarik pribadi Paus, selebrasi, dan pernyataan publik yang menggugah, serta jaringan yang seluas dunia, Gereja Katolik adalah contoh praktik soft power yang mumpuni.
Di tangan Paus Fransiskus, mesin persuasi tersebut dipakai untuk menyuarakan keprihatinan dan perhatian gereja terhadap persoalan sosial di dunia. Salah satu sasaran utama Paus Fransiskus adalah sistem ekonomi dunia yang dinilainya telah melebarkan jurang kaya-miskin dan merusak lingkungan.
Hanya beberapa bulan sesudah terpilih pada 2013, Paus Fransiskus menerbitkan seruan apostolik berjudul “Evangelii Gaudium” atau “Suka Cita Injil” yang menyebut ketimpangan ekonomi hasil dari pendewaan pasar bebas sebagai akar dari masalah-masalah sosial. Tak lama berselang, Paus menerbitkan ensiklik atau surat terbuka kepada seluruh dunia berjudul Laudato Si atau “Terpujilah Engkau” yang mengkritik secara keras model pembangunan ekonomi yang merusak tatanan sosial sekaligus lingkungan hidup.
Menurut Michael Burawoy, sosiolog terkemuka dari Amerika, Paus asal Argentina ini mengajarkan radikalisme moral yang setara dengan karya ekonom Thomas Piketty dan filsuf Karl Polanyi.
Di dalam surat yang menandai peluncuran Hari Orang Miskin Sedunia, Paus Fransiskus mengajak orang agar tidak melihat orang miskin sebagai objek belas kasihan atau tindakan karitatif, melainkan kita harus “menjumpai mereka, bertatap muka, memeluk mereka, dan membiarkan mereka merasakan kehangatan kasih yang memecah kesepian”. Dengan menjumpai mereka, kita akan melihat kemiskinan secara apa adanya, tidak terbungkus agenda kampanye politik atau ambisi kesalehan pribadi seperti yang kerap terjadi juga di Indonesia
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR