Di rumah sakit Turtle, Marathon, Florida, para dokter hewan berusaha keras merawat 42 penyu laut.
“Yang lima masih dalam perjalanan,” ujar Bette Zirkelbach, manajer rumah sakit Turtle.
Keesokan harinya, ia mengatakan bahwa kelima penyu laut itu sedang menjalani CT scan di rumah sakit biasa – ‘rumah sakit manusia’.
Rumah sakit Turtle merupakan pusat rehabilitasi yang sudah merawat dan melepaskan ribuan penyu laut sejak 1986. Mereka merawat sekitar 100 penyu setiap tahunnya. Namun, jumlah ini bisa sangat bervariasi. Pada 2016 ada 81 penyu, dan jumlahnya mencapai 175 di 2015.
(Baca juga: Pertama Kalinya, Peneliti Temukan Penyu Sisik yang Bercahaya)
Dari semua penyu laut tersebut, sekitar setengahnya mengidap penyakit yang disebut fibropapilloma (FP). Ini sejenis virus herpes yang bisa menyebabkan tumor. Meskipun tidak langsung mematikan, namun tumor ini menghalangi kemampuan penyu untuk bernafas dan berenang. Jika dibiarkan, pada akhirnya itu akan membunuh mereka.
Baru-baru ini, rumah sakit Turtle menguji kecanggihan elektrokemoterapi untuk mengangkat tumor. Melalui teknik yang disebut elektroporasi, dokter hewan memberikan dosis lokal pengobatan kemoterapi. Ini memungkinkan para dokter hewan untuk merawat area yang memiliki tumor saja, dibanding harus menjalankan kemoterapi di seluruh tubuh penyu.
Masalah yang berkembang
Menemukan perawatan terbaru dan lebih efektif bisa membantu rumah sakit menyelesaikan masalah yang terus meningkat ini. “Kami menemukan semakin banyak kasus penyakit. Itu muncul di tempat-tempat baru,” ujar Zirkelbach.
Penyu laut, lebih tepatnya penyu hijau, amat rentan terhadap FP. Penyebab stres di lingkungan mereka, seperti air hangat dan polusi, bisa memperburuk tumor.
Studi 2014 yang dipublikasikan pada jurnal PeerJ menemukan fakta bahwa aliran air perkotaan dan pertanian memperburuk kasus FP di Hawaii. Studi serupa pada 2010 menunjukkan, air yang kaya akan nitrogen juga memperparah FP.
Penyu hijau, sama seperti spesies penyu lainnya sedang terancam punah.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR