Tiangong-1, Sebuah stasiun luar angkasa China yang dikabarkan telah hilang kendali kini mulai mendekati bumi. Para ahli memperkirakan stasiun tersebut akan sampai dan menabrak atmosfer bumi antara 30 Maret hingga 2 April mendatang.
Pada Mei 2017 yang lalu, pejabat China merilis laporan pertama mereka ke PBB yang mengatakan bahwa Tiangong-1 telah berhenti beroperasi sejak 16 Maret 2016. Meskipun telah mempertahankan integritas strukturalnya, pesawat ini kehabisan bahan bakar dan tidak lagi dapat dikendalikan oleh tim di lapangan.
Saat ini posisi Tiangon-1 masih mengelilingi Bumi dengan ketinggian rata-rata 200 mil, stasiun ini mengalami hambatan yang signifikan karena ia menyapu atmosfer luar planet yang lebih padat, dan ia terus kehilangan ketinggian dengan laju sekitar 2,5 mil sehari. Pada akhirnya, diperkirakan Tiangong-1 akan mencapai ketinggian sekitar 43 mil dan membuat kembalinya yang berapi-api.
Baca juga: Berpeluang Jatuh di Indonesia, Tiangong-1 Akan Terlihat di 3 Kota Ini
Meski sudah dapat memprediksi jatuhnya pesawat itu, para ahli masih belum dapat mengatakan dengan pasti wilayah mana yang akan kejatuhan Tiangong-1. Stasiun ruang angkasa itu berputar mengelilingi Bumi dua kali setiap tiga jam, dan orbitnya membawanya antara 43 derajat Lintang Utara dan 43 derajat Selatan, yang berarti setiap benua kecuali Antartika berada dalam zona jatuh potensial.
"Yang bisa kita katakan adalah bahwa itu akan turun di suatu tempat di antara batas lintang itu, dan jawaban itu tidak akan berubah sampai benar-benar turun," jelas Jonathan McDowell, seorang astronom di Harvard-Smithsonian Centre for Astrophysics.
Tanggal re-entry tepat untuk Tiangong-1 juga masih belum diketahui hingga saat ini, karena kepadatan atmosfer bagian atas berubah tergantung pada aktivitas matahari,
"Ketika sampai sekitar 24 jam, kami mungkin dapat memprediksi waktu re-entry hingga sekitar tiga jam atau lebih," tambah McDowell.
Baca juga: Tiangong-1, Stasiun Luar Angkasa China yang Buat Dunia Harap-harap Cemas
MELACAK MASALAH
Moriba Jah, seorang astrodynamicist di University of Texas di Austin menerangkan bahwa kemampuan mereka dalam memprediksi turunnya serta perilaku satelit masih dalam masa pertumbuhan, hal ini karena hingga saat ini mereka belum memiliki kemampuan untuk melakukan pemantauan global secara real-time dari dinamika atmosfer.
"Kami tidak memahami semua dinamika dan mekanik atmosfer dengan akurasi dan presesi yang cukup untuk memprediksi dengan baik ke masa depan," katanya.
"Ini diterjemahkan ke dalam ketidakpastian besar dalam lintasan orbit atau lintasan dari objek yang mengancam, hal itu bisa berarti perbedaan antara memasuki Samudra Pasifik atau di atas Amerika Serikat."
Ketika Tiangong-1 kembali memasuki atmosfer, stasiun antariksa ini diperkirakan akan pecah, dan ada kemungkinan bahwa serpihan-serpihan yang seberat 220 pound tersebut akan menabrak Bumi.
Hal yang serupa terjadi pada tahun 1979, ketika stasiun Skylab di NASA tidak mengorbit dan tidak terbakar secepat yang diharapkan. (Sebagian dari stasiun itu menghujani Australia, dan tidak ada korban akibat kejadian itu).
Dalam laporan mereka ke PBB, pejabat Cina mencoba mengecilkan risiko fragmen- fragmen yang kemungkinan akan selamat saat perjalanan menuju bumi, Moriba Jah dan McDowell setuju bahwa peluang itu menguntungkan kita.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR