Mereka “diasingkan” dalam arti mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan publik Indonesia secara penuh sebagai seorang manusia. Mereka tidak dapat bekerja dan suara mereka hampir tidak terdengar. Saya berpendapat kategorisari hukum yang memberikan mereka label “pengungsi” di Indonesia menjadi salah satu sumber dari rasa frustrasi mereka.
Kita tidak dapat menganalisa situasi pengungsi di Indonesia tanpa melihat konteks global dari isu pengungsi. Benar bahwa ketika kita berbicara mengenai penempatan di negara ketiga, kebijakan negara-negara lain juga berpengaruh.
Sebagai contoh, pemerintahan Trump membatasi jumlah pengungsi yang diperbolehkan masuk ke Amerika Serikat pada tahun fiskal 2018 menjadi 45.000. Ini di bawah rata-rata jumlah yang diperbolahkan masuk ke Amerika Serikat selama satu dekade terakhir yaitu 75.000.
Australia telah berhenti menerima pencari suaka yang mendaftar sebagai pengungsi lewat UNHCR di Indonesia semenjak Juni 2014.
Kebijakan-kebijakan ini mengurangi ketersediaan penempatan negara ketiga bagi pengungsi yang ada di Indonesia. Terlebih, UNHCR Indonesia mengungkapkan bahwa karena jumlah pengungsi di Indonesia lebih sedikit dibandingkan jumlah pengungsi di negara suaka lainnya, maka jumlah tempat yang disiapkan bagi pengungsi yang menunggu di Indonesia lebih sedikit.
Meski demikikan, saya mengajak kita melihat pada masalah yang terjadi di Indonesia. Pada satu sisi, pengungsi di Indonesia semakin sulit mendapatkan penempatan di negara ketika karena kesempatan yang ada semakin sempit. Di sisi lain, aturan yang ada di Indonesia belum mengakomodasi kehadiran pengungsi di Indonesia yang sedang dalam periode menunggu. Dalam keadaan ini, meski pun para pengungsi secara fisik ada dalam wilayah Indonesia, mereka “tidak ada” di ruang politik dan hukum Indonesia.
Peraturan presiden tahun 2016 menggunakan istilah “pengungsi dari luar negeri” dan bukan pengungsi saja. Aturan tersebut mendefinisikan pengungsi dari luar negeri adalah “orang asing dalam wilayah Indonesia” yang berada di sini karena ancaman persekusi.
Menjelaskan pengungsi sebagai orang asing memang secara teknis benar. Namun, patut kita pikirkan mengenai bahasa dalam banyak peraturan mengenai pengungsi, termasuk peraturan presiden tahun 2016 yang mempertahankan “sifat liyan” dari pengungsi. Peraturan tersebut dibuat agar mereka tetap berada “di luar”.
Selain itu, seperti yang ditunjukkan oleh peneliti Antje Missbach and Nicholas Feith Tan yang mempelajari mengenai isu pengungsi, perpres tersebut tidak betul-betul membahas mengenai perlindungan pengungsi di Indonesia. Aturan tersebut hanyalah berisi aturan prosedural mengenai cara penanganan pengungsi dari luar negeri. Peraturan Presiden mengenai pengungsi tidak membahas mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh pengungsi selama waktu mereka menunggu ditempatkan di negara ketiga.
Untuk proses penempatan, UNHCR menjelaskan bahwa prosesnya membutuhkan “waktu yang cukup banyak” (tepatnya “setidaknya enam bulan atau lebih”) untuk diwawancara. Dan waktu tunggu untuk diberangkatkan ke negara ketiga lebih lama lagi (hingga “satu tahun sejak diterima tapi bisa lebih lama lagi”).
Selebaran dari UNHCR bahkan menekankan pada pengungsi bahwa “Anda mungkin tidak akan pernah mendapatkan penempatan dari Indonesia”. Ini membuat pengungsi berada pada situasi ketidakpastian yang kronis, yang pada kasus Hayat, berakhir dengan ia bunuh diri.
Pada 2016, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan sebuah peraturan yang membentuk Satuan Tugas yang disebut TIM PORA untuk memantau warga negara asing di Indonesia.
Karena pengungsi dimasukkan ke dalam kategori “orang asing” menurut hukum Indonesia, satuan tugas ini juga seharusnya mengurusi permasalahan pengungsi juga. Sejauh ini TIM PORA hanya mengurusi warga negara asing yang melanggar aturan visa.
TIM PORA dapat menjadi badan yang tepat untuk merespons kesulitan yang dihadapi pengungsi di Indonesia. Satuan tugas tersebut terdiri dari berbagai badan negara dan ada di level lokal dan nasional dan seharusnya dapat menjangkau para pengungsi.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia merespons tanpa menunggu Hayat-Hayat berikutnya menjadi korban.
Anbar Jayadi, Assistant Lecturer, Faculty of Law, Universitas Indonesia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR