Cory Richards mengambil foto tersebut sekitar satu jam setelah ia berhasil keluar dari longsoran salju yang hampir membunuh dia dan kedua temannya ketika menuruni gunung tertinggi ke-13 di dunia. Saat itu, tanggal 4 Februari 2011, mereka baru saja menyelesaikan pendakian musim dingin pertama Gasherbrum II, Pakistan. Sejak saat itu, foto ini telah berada di sampul National Geographic, muncul di beberapa poster dan papan reklame, dan beredar di Internet.
Di satu sisi, hal itu telah menjadi “merek” tersendiri bagi Cory dan mengundang banyak tawaran pekerjaan yang menggiurkan kepadanya. Namun selama bertahun-tahun, kisah yang digambarkan pada foto itu—tentang seorang pendaki gunung heroik yang baru saja “mencurangi” kematian—ternyata sangat mengganggunya selama ini.
“Saya selalu merasa sulit untuk berpikir bahwa mendaki adalah hal yang heroik, meskipun saya mengerti bagaimana beberapa orang mungkin melihatnya seperti itu. Berdiri di kaki puncak Himalaya, dan Anda memahami bahwa untuk mencapai puncak harus membutuhkan kekuatan, stamina, konsentrasi, dan keberanian yang luar biasa,” ucapnya.
(Artikel terkait: Peneliti: Tidak Perlu Mandi Setiap Hari)
Namun, bagi Cory, ia selalu berpikir bahwa tindakan kepahlawanan membutuhkan semacam tujuan yang lebih tinggi daripada hanya mempertaruhkan hidup untuk melihat apakah dirinya dapat mencapai puncak. Menurutnya, tentu bahwa pendakian gunung dapat mendukung pengembangan ekonomi lokal di banyak tempat, termasuk Pakistan.
Mendaki puncak terpencil juga dianggap dapat menyentuh sesuatu yang vital dalam jiwa manusia. Namun, jangan menipu diri sendiri: Banyak hal yang terjadi pada rekreasi mahal, berbahaya, dan aktivitas yang memuaskan kesenangan diri.
“Bukan ide saya untuk mendaki Gasherbrum II. Saya diundang oleh dua pendaki veteran, Simone Moro dan Denis Urubko, untuk bergabung dengan ekspedisi mereka. Saya adalah seorang pendaki muda yang telah berkembang dari puncak di Amerika Utara dan Pegunungan Alpen, dan akhirnya berhasil mencapai tempat pembuktian terakhir, Himalaya,” jelas Cory.
Cory mengatakan, Simone dan Denis adalah ikon di dunia pendakian yang telah memelopori rute baru di beberapa gunung tertinggi di dunia yang paling berbahaya.
“Sulit untuk menggambarkan betapa senangnya saya ketika mereka meminta saya bergabung dengan mereka untuk usaha musim dingin di Gasherbrum II. Pendaki gunung memilih mitra pendakian mereka dengan sangat hati-hati. Itu adalah keputusan yang dapat menentukan apakah Anda bertahan atau tidak dari ekspedisi. Anda membutuhkan seseorang yang dapat mentoleransi penderitaan yang berkepanjangan, saling mendukung, dan sigap dalam menghadapi keadaan darurat,” tutur Cory.
Cory mengatakan, permintan kedua legendaris itu untuk memintanya bergabung dalam ekspedisi dianggap sebagai sebuah “amanat suci dari pendeta” baginya. Meskipun mungkin terdengar aneh, tetapi bagi banyak pendaki gunung, memanjat adalah sejenis agama. Begitu pula dengan Cory, yang menganggap bahwa mendaki gunung merupakan penyelamat baginya dan menawarkannya jalan keluar dari masa remaja yang suram.
(Artikel terkait: Gempa Sunda Megathrust Berpotensi Merusak Jakarta)
“Saya putus sekolah, dan masuk ke dalam dunia alkohol dan obat-obatan, dan tinggal di jalanan untuk sementara waktu. Pendakian adalah keselamatan saya. Pendakian memberi saya tujuan tunggal, memfokuskan pikiran dan tubuh saya, dan membuat saya sehat,” ungkapnya.
Cory mengatakan, semakin dia memanjat gunung, dia merasa terlepas dari ketidaknyamanan, kemarahan, dan rasa akan suatu bahaya. Ketika ia berada di atas dan menghadap dunia di bawah, ia dapat bernapas dalam, merasa puas, dan lebih santai, berbeda dengan kehidupannya ketika tidak mendaki yang seringkali mengundang kekacauan batin kembali.
“Ketika Simone dan Denis memintaku untuk menjadi bagian dari pendakian bersejarah itu, aku merasa bahwa jika aku bisa mencapai puncak itu, maka aku akan "diperbaiki" secara permanen,” ujarnya.
Cory mengakui bahwa pendakian musim dingin benar-benar bergantung pada waktu—apakah mampu atau tidak dalam mendaki gunung dan melawan badai musim dingin yang bergerak cepat di puncak, dengan salju yang tidak stabil.
Namun, mencapai puncak hanyalah titik tengah. Kematian sering terjadi ketika pendaki menginjak “ranjau” di celah jurang—retakan dalam yang tersembunyi di bawah lapisan tipis salju—seakan mengancam para pendaki dengan longsornya yang dapat terjadi setiap saat.
Ia pun melanjutkan, ketika ia mendengar suara gemuruh mendekat, mereka bergegas menggunakan tali bertiga untuk menahan badai yang menghampiri mereka. Pemandu gunung mengajarkan bahwa jika Anda terjebak dalam longsoran salju, Anda harus mencoba berenang ke puncak, dan itu dilakukan pula oleh Cory.
“Aku ingat dengan sia-sia mencoba menggerakkan lenganku dan menendang kakiku, tetapi segera saja aku berputar seperti sedang berada di dalam mesin cuci yang ‘ganas’. Sekilas, saya melihat langit biru, lalu gelap, lalu biru, lalu gelap, lalu hitam. Mulut dan hidungku dipenuhi bubuk, dan salju masuk begitu saja ke dalam pakaian saya. Raungan itu digantikan oleh keheningan yang mendalam, dan dingin yang berat mulai merembes ke tubuhku,” papar Cory.
“Sulit untuk mengutarakan kata-kata teror dari pengalaman itu—tertangkap seperti mangsa di gigi monster purba, menunggu tulang belakang Anda patah, kesadaran Anda mulai hilang, dan gunung menelan Anda. Namun, kita semua selamat,” tambahnya.
Bagi Cory, bukannya “menyembuhkan”, pengalaman yang dialaminya tentang Gasherbrum II tersebut telah menghancurkannya. Seiring berjalannya waktu, gelombang kepanikan tiba-tiba dirasakan Cory. Ia tiba-tiba berkeringat, merasa kesal atau marah, seperti merasakan kembali kekacauan di masa remajanya, bahkan lebih besar dan lebih gelap.
“Untuk melarikan diri, saya minum banyak dan mengkhianati istri saya, yang menambah rasa malu dan membenci diri sendiri. Saya akhirnya terkubur dan berusaha untuk mati. Saya bercerai, kehilangan sponsor profesional utama saya, membuat citra buruk untuk diri saya sendiri, menyakiti orang yang saya sayangi. Tidak ada alasan untuk perilaku buruk dan keputusan yang buruk. Namun, terkadang kekacauan yang terjadi memberikan sedikit kejelasan,” jelas Cory.
(Baca juga: Lima Tsunami Paling Mematikan)
Seorang terapis akhirnya menjelaskan bahwa Cory menderita gangguan stres pasca-trauma, dan dengan cinta dan dukungan dari banyak orang, ia secara bertahap dapat mengubah dirinya sendiri.
“Saya telah berhenti minum dan mulai mendaki lagi, dan telah kembali ke Himalaya. Saya telah menyadari bahwa gagasan bahwa mendaki puncak gunung dapat memperbaiki saya adalah ilusi, sama seperti gagasan bahwa foto saya pasca-longsoran, entah bagaimana, menggambarkan seorang pahlawan,” katanya.
Meskipun kini ia merasa baikan, tetap saja Cory tidak bisa menghindar dari foto itu. Foto itu telah menghantuinya, “mengingatkanku betapa rapuhnya aku sebenarnya, dan betapa rapuhnya kita semua,” tukasnya.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Citra Anastasia |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR