Nationalgeographic.co.id—Pada 17 November 1869, ilustrator Perancis, Edouard Riou, menempatkan dirinya berada di garis pantai utara Mesir, dengan buku sketsa di tangan, saat para pejabat Eropa berkumpul dengan penduduk setempat di tepi perairan.
Setelah puluhan tahun bolak-balik antara Perancis dan penguasa Ottoman di Mesir, Terusan Suez akhirnya dibuka untuk bisnis, dan Ferdinand de Lesseps, pengembang utama kanal, telah menugaskan Riou untuk membuat album suvenir dari acara tersebut.
Peresmian di Port Said adalah momen kemenangan bagi de Lesseps, yang sepenuhnya ditangkap oleh gambaran cat air Orientalis Riou, yang kemudian diterbitkan dan dibagikan ke seluruh Perancis pada saat itu.
"Hampir 150 tahun kemudian, lukisan Riou akhirnya kembali ke mata publik di Paris, muncul di pintu masuk pameran Institut du Monde Arabe saat ini 'The Epic of the Suez: From the Pharaohs to the 21st century'," tulis Pelletier.
Mary Pelletier menulisnya kepada Apollo Magazine, dalam artikelnya berjudul A brief history of the Suez Canal, yang dipublikasikan pada 3 Juli 2018.
Pameran besar dan ambisius ini mencakup lebih dari 2.000 tahun sejarah kanal, menyatukan lukisan Orientalis dengan instalasi multimedia, dan artefak kuno dengan model skala modern dan peta bersejarah tentang Terusan Suez.
"Riou telah berhasil menghadirkan kembali kemegahan dan suasana saat peresmian Terusan Suez dalam kanvas minyak besarnya," tambahnya.
Dipenuhi dengan nostalgia romantis, lukisannya menggambarkan tenda-tenda upacara yang megah ditampilkan dalam warna biru melamun, merah muda dan cokelat, sementara tiang kapal tinggi memudar menjadi kabut latar belakang.
Barisan pria dengan pakaian lokal, berjalan menuju upacara peresmian dengan berjalan kaki, mengarungi kolam air pasang berpasir, dengan satu unta yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan upacara.
"Lukisan ini merupakan bagian sentral dari ruang pembukaan pameran, yang mencerminkan ide-ide kolonial Eropa yang agung pada akhir abad ke-19," terusnya.
Terusan Suez adalah representasi keinginan dan ambisi dari Muhammad Ali Pasha, yang memerintah Mesir Utsmaniyah dari awal 1800-an hingga 1848. Karya-karya Riou, mengungkapkan bahwa pembukaan Terusan Suez pada akhirnya merupakan upaya industri.
Artefak yang dipinjam dari Louvre membantu menggambarkan pentingnya Tanah Genting Suez, sebuah kanal yang diyakini pertama kali digali oleh Firaun Senusret III pada abad ke-19 SM.
Setelah Ali Pasha bertemu de Lesseps, terlihat pula hubungan erat antara Perancis dan Mesir Utsmaniyah. Adanya hubungan de Lesseps dengan putra Muhammad Ali, Sa'id Pasha, dan penggantinya Isma'il Pasha, melalui rencana, kesepakatan, yang digambarkan melalui lukisan dan peta.
Penggambaran Riou tak seindah kenyataannya. "Kerja paksa memainkan peran mendasar selama penggalian Terusan Suez, yang dalam banyak disembunyikan dari sejarah, atau dikaburkan," tulis Farouk.
Mei Farouk menulisnya dalam jurnal Cairn-Info, jurnalnya berjudul Forced labor during the excavation of the isthmus, yang dipublikasikan dalam Societes & Representations, volume 48, issues 2, tahun 2019.
"Idealisme proyek Terusan Suez merevolusi dunia navigasi untuk pelayaran laut ke seluruh dunia, tapi mengabaikan ribuan buruh yang dipaksa bekerja untuk membuat kanal tersebut," tambahnya.
Terusan Suez adalah ide brilian, buah dari kerjasama Perancis dan Mesir, serta investor yang berupaya memecahkan mitos dua laut yang menghubungkan dunia Timur dengan dunia Barat.
Meski, di balik kegemilangannya, Terusan Suez merupakan luka bagi ribuan petani di Mesir, penduduk lokal yang bekerja sebegitu kerasnya hingga mengorbankan keringat dan darahnya.
"Para petani di iming-imingi kebahagiaan dan kesejahteraan melalui gerakan para propagandis Mesir dan Perancis, dan (kesejahteraan) itu akan lenyap jika mereka memutuskan untuk berhenti menggali (Terusan Suez)," imbuhnya.
Lukisan indah Riou setidaknya bisa menghadirkan kembali keberhasilan bagi Perancis dan Mesir dalam menciptakan Terusan Suez yang menyatukan dua belahan dunia yang terpisah. Tapi, sejatinya, menjadi luka bagi anak keturunan buruh yang dipaksa bekerja hingga mengorbankan tenaga, bahkan nyawanya.
Baca Juga: Sempat Dihina, Ini Kisah di Balik Mahakarya Van Gogh The Potato Eaters
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Cairn-Info Journals,Apollo Magazine |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR