Nationalgeographic.co.id—Kecemburuan sosial antara etnis Cina dengan kaum bumiputera memuncak saat Belanda menguasai Jawa. Perkecuan menjadi kriminalitas yang menjamur di masyarakat pada abad ke-20.
Perkecuan berasal dari kata kecu, yang merujuk pada tindakan premanisme atau pencurian, di mana tindakannya cenderung memaksa, menyiksa, hingga membunuh korbannya.
Perkecuan sebelumnya pernah berkembang pesat di kawasan perkebunan Klaten yang buruh dan petaninya mengalami krisis ekonomi sejak tahun 1870-an, yang kemudian menyebar hampir di seluruh wilayah karesidenan.
Memasuki abad ke-20, kecu mulai menjadi tindak kriminal yang lahir dari sentimen rasial antara etnis Jawa dan Cina.
"Etnis Tionghoa selama ratusan tahun dijadikan alat oleh kolonial Belanda untuk menjadi mesin penghasil uang yang sangat efektif," ungkap Rahmana dalam tulisannya.
Siti Rahmana menulis pada Jurnal Sejarah Peradaban Islam (JUSPI). Jurnalnya berjudul Sarekat Islam: Mediasi Perkecuan di Surakarta Awal Abad ke-20, publikasi 2018.
Kebijakan Belanda yang lebih banyak mengandalkan tenaga etnis Cina, memunculkan sentimen rasial di masyarakat. Sedangkan, kaum bumiputera hanya diperah dan dimanfaatkan tenaganya, dibiarkan menderita oleh kebijakan Hindia-Belanda.
Adanya kesenjangan sosial memunculkan gelombang protes kaum bumiputera. Tindakan protes kaum bumiputera secara radikal diwujudkan dengan tindak perkecuan yang marak memasuki awal abad ke-20.
Menurut Rahmana, perkecuan yang mengkhawatirkan, mendorong dibentuknya kelompok ronda Rekso Roemekso yang diprakarsai oleh para pedagang batik di Laweyan.
"Pada perkembangan selanjutnya, kelompok ronda Rekso Roemekso diarahkan menjadi organisasi sosial-ekonomi, yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI)," imbuh Siti Rahmana.
Organisasi ini bertujuan untuk mewadahi kaum bumiputera agar dapat bersaing dengan sikap monopoli pedagang etnis Cina, hingga Sarekat Dagang Islam bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI).
Prinsip Sarekat Islam untuk bertahan secara sosial-ekonomi di tengah krisis, melibatkan sejumlah kalangan, seperti halnya buruh dan petani. Tujuan utamanya mengarah pada meredam perkecuan yang meresahkan.
"Sarekat Islam diharapkan mampu menjadi tempat penyalur cita-cita atas perbaikan kesejahteraan hidup di tengah-tengah keterpurukan sosial-ekonomi saat itu, serta berjuang merebut kembali hak-hak kaum pribumi yang dirampas oleh kolonial Belanda" lanjutnya.
Baca Juga: Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875
Keseragaman tujuan beriringan dengan kesamaan nasib, menjadi pengikat kaum bumiputera untuk berjuang bersama Sarekat Islam. Istilah 'kepentingan bersama' menjadi tujuan yang digaungkan.
Bukan malah menuju perkecuan, kaum petani dan buruh yang lama terlibat sebagai kecu, disibukkan dengan kepentingan politis, menggelorakan semangat untuk merengkuh kembali hak-haknya.
"Kepentingan bersama, bersatu untuk bersama-sama membela hak bumiputera dari kolonial Belanda, merupakan bagian dari proses pencarian identitas Keindonesiaan kaum pribumi," tutup Siti Rahmana.
Source | : | JUSPI: Jurnal Sejarah Peradaban Islam |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR