Nationalgeographic.co.id—Ketika membuka penelusuran di internet, cobalah untuk mengetik "perubahan iklim" lalu diikuti makanan favorit Anda. Anda akan melihat betapa banyak perubahan iklim punya peran yang buruk terhadap makanan-makanan itu.
Saya mendapatkan artikel The Conversation Juli 2018 oleh Kristie Ebi dari Global Health and Environmental and Occupational Health Sciences, University of Washington, dengan kata kunci "perubahan iklim nasi" di hasil penelusuran paling atas.
Ebi membuat makalah di Science Advances Mei 2018 bersama tim di Tiongkok, Jepang, Australia, dan AS, dan menyebutkan nasi akan kehilangan sebagian besar gizinya karena perubahan iklim tahun 2100. Hal itu disebabkan konsentrasi karbon dioksida yang meningkat di udara dan diserap padi.
Para ilmuwan telah sepakat untuk menyebutkan tahun 2050 diprediksikan dunia pertanian akan berubah karena perubahan iklim.
Sebuah studi di PLOS One yang diterbitkan 2 Januari 2022, para peneliti mengamati bagaimana tiga tanaman konsumsi populer—kopi, kacang mete, dan alpukat—bakal berubah di tahun itu lewat pengamatan pemodelan mereka. Makalah itu berjudul Expected global suitability of coffee, cashew and avocado due to climate change.
Dari model itu, para peneliti mendapati bahwa kacang mete dan alpukat rentan penurunan wilayah layak tumbuh pada 2022. Temuan ini jadi pandangan global pertama tentang bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi kawasan penghasil jambu mete dan alpukat.
Kacang mete akan mengalami penurunan drastis berdasarkan model iklim yang dibuat para peneliti. Di Benin, suhu tahunan yang tinggi dapat mendorong penurunan hampir 55 persen. Negara bagian barat Afrika itu akan banyak kehilangan wilayah sangat layak tanam jambu mete, meski emisi bisa dikurangi.
Meski demikian, secara global kacang mete justru meningkat 17 persen karena musim dingin yang makin menghangat di daerah yang lebih tinggi dan lebih rendah seperti AS, Argentina, dan Australia.
Baca Juga: Para Petani Rangkap Peneliti, dan Kisahnya Menghadapi Perubahan Iklim
Sementara, alpukat juga memiliki hasil bervariasi dari model para peneliti. Iklim yang lebih hangat dapat menahan lebih banyak kelembapan yang menyebabkan lebih banyak curah hujan di kawasan penghasil alpukat pada 2050.
Diperkirakan wilayah layak tanam alpukat diperkirakan menurun sebesar 14 hingga 41 di seluruh dunia seperti Republik Dominika dan Indonesia. Perkembangan wilayahnya justru sangat kecil dari 12 hingga 20 persen, tulis para peneliti.
Saat ini, Meksiko adalah penghasil buah-buahan terbesar di dunia, dan kondisi pertumbuhan alpukat diperkirakan akan meningkat antara 55 hingga 87 persen pada 2050.
Selain itu, perubahan iklim pada biji kopi juga membuatnya mengalami penurunan beberapa faktor kualitas, seperti PH dan tekstur tanah yang layak tanam dapat berubah dengan banyak curah hujan. Diperkirakan pada 2050 jumlah layak tanamnya akan menurun hingga 50 persen akibat peningkatan suhu tahunan di kawasan penghasil kopi seperti Indonesia, Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Melansir National Geographic, penulis studi Roman Grüter dari Institute of Natural Resource Sciences, Zurich University of Applied Sciences di Swiss, mengatakan perubahan iklim menyebabkan tanaman harus bisa beradaptasi untuk mengimbangi kondisi yang berubah.
Di berbagai tempat, para ilmuwan bersama petani sudah bereksperimen pada tanaman tertentu untuk menciptakan sifat-sifat yang lebih keras agar dapat bertahan lebih baik pada perubahan iklim. Tapi cara ini saja belum cukup, tulis mereka di makalah.
"Pada titik tertentu, tanaman tidak mungkin lagi tumbuh [di kawasan aslinya]," kata Grüter. Pemodelan seperti ini tentunya dapat berguna bagi para ilmuwan untuk membantu petani untuk melihat harapan tanaman yang harus diperjuangkan demi ketahanan pangan. Dan, bisa jadi saran bagi pembuat kebijakan agar bisa mendorong petani untuk menggunakan metode penanaman yang lebih efieisen.
Tetapi, Grüter mengatakan, masih banyak jenis makanan yang ditanam pertanian skala kecil yang kurang dipelajari. Padahal mereka adalah bagian yang penting dalam mempersiapkan ketahanan pangan global ketika perubahan iklim.
"Sangat penting bagi ketahanan pangan dan gizi untuk memodelkan perubahan semacam itu dan dampaknya terhadap pertanian,” kata Grüter. "Kami sekarang memodelkan tanaman komersial, tetapi alpukat juga merupakan tanaman yang penting dan bergizi."
Baca Juga: Bincang Redaksi-38: Ancaman Pagebluk Baru terhadap Ketahanan Pangan
Source | : | National Geographic,The Conversation |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR