Nationalgeographic.co.id—Autoimun adalah kondisi di mana sistem kekebalan penderita menyerang tubuh mereka sendiri. Penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis dan diabetes tipe satu merupakan contoh penyakit bawaan autoimun.
Sejauh ini para ilmuwan telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor genetik yang membuat orang-orang beresiko mengidap autoimun. Namun, faktor lingkungan yang memicu nampaknya lebih sulit untuk dipahami.
Dilansir dari Scitechdaily, para ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St. Louis, Amerika Serikat, telah menemukan infeksi virus dapat memicu proses destruktif. Proses ini sendiri berpuncak pada autoimunitas yang muncul lama setelah infeksi.
Para peneliti menyelidiki dampak infeksi virus pada sel T atau sel kekebalan pada tikus. Sel tersebut mempunyai peran penting dalam banyak kondisi autoimun. Dalam penelitiannya, mereka menunjukan bahwa murine roseolovirus menginfeksi timus, organ di mana sel T yang dapat merusak jaringan diidentifikasi dan disingkirkan. Berbulan-bulan lamanya setelah infeksi terjadi, tikus mulai memiliki penyakit autoimun pada perut yang didorong oleh sel T yang merusak diri sendiri.
Penelitian mereka telah diterbitkan di laman Journal of Experimental Medicine dengan judul Disruption of thymic central tolerance by infection with murine roseolovirus induces autoimmune gastritis pada 28 Februari 2022. Dalam makalahnya dibeberkan bagaimana cara virus yang sebelumnya tidak diketahui, memicu autoimunitas.
Berdasarkan hal itu para peneliti berpendapat penelitian lebih lanjut harus dilakukan terhadap roseolovirus manusia yang merupakan kerabat roseolovirus murine. Diduga virus tersebut sebagai kemungkinan penyebab autoimunitas pada manusia.
“Sangat sulit untuk menemukan pelaku kejahatan yang bahkan tidak pernah ada di TKP. Sebagai dokter, kami sering melihat langsung ke jaringan yang sakit dan jika tidak menemukan virus, kami menyimpulkan bahwa penyakit itu bukan disebabkan oleh virus. Namun, di sini kami memiliki situasi di mana dampak dari virus merusak di tempat lain yang berbeda," kata penulis senior Wayne M. Yokoyama, MD.
Yokoyama juga menjelaskan virus ini masuk ke timus di mana sel T menjalani proses untuk memilih sel-sel yang berguna untuk pertahanan kekebalan tetapi juga menyingkirkan sel T yang mungkin dapat merusak jaringan tubuh.
Dia menemukan bahwa seluruh proses tersebut yang disebut toleransi sentral, terpengaruh oleh virus. Sel T yang seharusnya tidak meninggalkan timus, malah tersingkarkan dan mereka menempati perut selama berbulan-bulan. Lalu menyebabkan penyakit autoimun di lokasi yang tidak pernah terinfeksi virus.
Perlu diketahui, roseolovirus manusia dan tikus adalah anggota dari keluarga virus herpes. Pada manusia, roseolovirus menyebabkan roseola, penyakit ringan pada masa kanak-kanak yang disertai demam dan ruam selama beberapa hari.
Kebanyakan orang telah terinfeksi setidaknya satu roseolovirus pada saat mereka mulai masuk taman kanak-kanak. Seperti virus herpes lainnya, roseolovirus menyebabkan infeksi seumur hidup, meskipun virus tidak aktif dan jarang menimbulkan gejala setelah infeksi awal.
Para ilmuwan telah lama menduga bahwa roseolovirus mungkin terkait dengan autoimunitas. Tetapi keberadaan virus di mana-mana membuat penyelidikan semacam itu menjadi sulit. Sulit untuk mencari perbedaan antara orang yang terinfeksi dan tidak terinfeksi ketika hampir semua orang pernah terinfeksi saat masih kecil.
Sebaliknya, Yokoyama dan rekan penulisnya, Tarin Bigley, mempelajari murine roseolovirus. Virus tersebut ditemukan menginfeksi timus dan sel T tikus di alam liar. Mereka menemukan virus tersebut menginfeksi tikus yang baru lahir.
Dua belas minggu kemudian semua tikus mengalami gastritis autoimun atau radang perut, meskipun tidak ada tanda-tanda keberadaan virus di perut mereka. Jika virus segera dieliminasi dengan obat antivirus dalam beberapa hari pertama walaupun virus sementara masih aktif bereplikasi, tikus tidak akan mengalami gastritis tiga bulan kemudian.
Namun, jika para peneliti menunggu untuk memberikan antivirus sampai tikus berusia delapan minggu, setelah proses infeksi aktif selesai dan sebelum tikus menunjukkan tanda-tanda masalah perut. Obat antivirus tidak berguna sama sekali, tikus akan mengalami gastritis beberapa minggu kemudian.
Para ilmuwan telah mengetahui bahwa infeksi virus dapat menyebabkan autoimunitas jika beberapa protein virus menyerupai protein manusia normal. Antibodi yang dimaksudkan untuk menargetkan virus akhirnya juga bereaksi dengan sel manusia normal.
Para peneliti menemukan bahwa tikus dengan gastritis telah mengembangkan antibodi terhadap protein pada sel-sel di perut. Namun, mereka juga telah mengembangkan antibodi terhadap beragam protein normal yang terkait dengan kondisi autoimun lainnya.
Selain itu, mereka memiliki banyak sel T yang menargetkan protein normal tubuh sendiri dan perubahan lain pada populasi sel T yang mencondongkan sistem kekebalan ke arah autoimunitas.
Baca Juga: Gejalanya Sama dengan COVID-19, Apakah Flu Rusia dari Virus yang Sama?
Baca Juga: Bukti Pertama Omicron Menyebar ke Hewan Liar Baru Saja Ditemukan
Baca Juga: Apakah Masker N95 dan KN95 Aman untuk Digunakan Berulang Kali?
“Kami tidak berpikir gastritis autoimun adalah hasil dari mimikri molekuler karena kami mengamati respons autoantibodi yang begitu luas,” kata Tarin Bigley, MD, PhD.
Pengamatan bahwa tikus yang terinfeksi menghasilkan autoantibodi yang beragam menunjukkan bahwa infeksi murine roseolovirus di saat kecil menginduksi cacat luas pada kemampuan tubuh untuk menghindari penargetan proteinnya sendiri. Inilah mengapa para ilmuwan dalam penelitian ini memfokuskan penelitian mereka pada dampak infeksi pada toleransi pusat daripada mimikri molekuler.
Langkah selanjutnya adalah menyelidiki apakah proses serupa terjadi pada manusia.
"Penyakit autoimun manusia juga dapat terjadi melalui infeksi virus yang disingkirkan tetapi meninggalkan kerusakan yang dapat menyebabkan autoimunitas,” pungkas Yokoyama.
Yokoyama juga menekankan pasti ada faktor lain yang belum mereka pahami yang membuat beberapa orang lebih rentan terhadap efek autoimun dari infeksi roseolovirus. Sebab, hampir semua orang terinfeksi, tetapi kebanyakan orang tidak terkena penyakit autoimun. Temuan ini menjadi topik yang sangat penting untuk penyelidikan lebih lanjut.
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR