Saya berjumpa dengan Idris, salah seorang pengurus harian yang kerap menemui banyak tamu. “Pengunjunganya juga bermacam-macam ya, sering juga wanita berkerudung juga masuk ke dalam gereja ini.”
Dia melanjutkan, “Semua mengagumi arsitektur bangunan ini. Tidak ada sekat-sekat agama. Semua orang dengan aneka latar agama boleh masuk ke gereja ini kok.”
Santa Maria de Fatima berada di kawasan pecinan. Jangan heran jika gereja ini rutin mengadakan misa Imlek jelang tahun baru Cina. Uniknya, para pater memiliki jubah-jubah khusus bertuliskan karakter Cina, seperti yang diceritakan Idris kepada saya. “Sebagai bentuk penghormatan terhadap para umat di wilayah ini,” ujarnya. “Sudah sejak dahulu.”
Idris mengatakan pihak gereja selalu turut berperan dalam pertemuan warga yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan dan budaya warga Pecinan Glodok. “Kita turut senang dengan acara klenteng tetangga kami,” pungkasnya.
Esok paginya, gereja tutup lebih awal. Petugas berkata kepada saya bahwa gereja ditutup untuk memberi kesempatan arak-arakan Klenteng Fat Cu Kung Bio. Rupanya tandu dan patung para dewa—biasa disebut joli dan kimsin—berbaris rapi di pelataran Sekolah Ricci.
Acara jutbio bermula pagi hari usai hujan deras yang baru saja melintas. Dalam hiruk pikuk acara kirab, seorang perempuan bernama Lucy memperkenalkan dirinya pada saya.
Baca Juga: Sisik Melik di Balik Aksara Cina di Papan 'Kopi Es Tak Kie' Glodok
Baca Juga: Lim Tju Kwet, Kaligrafer Aksara Han yang Tersisa di Pecinan Glodok
Baca Juga: Naskah Cina-Jawa, Jejak Budaya yang Terlupakan dalam Sejarah
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR