Nationalgeographic.co.id—“Pak, sudah berapa lama ngojek sepeda?” tanya saya.
“Wah, sudah lima belas tahun nih. Setiap hari saya berangkat dari Bogor naik KRL. Ngojek mulai jam sembilan pagi sampai jam dua.”
Inilah sepenggal obrolan urban, ketika saya menggunakan jasa ojek sepeda yang dikemudikan oleh Hamid. Ternyata, kami sama-sama datang dari pinggiran dan sama-sama menggunakan moda angkutan kereta andalan warga.
Kami melaju dari Stasiun Jakarta Kota menuju jantung pecinan kota, Glodok.
Ojek sepeda berhenti di pelataran bangunan gereja berlanggam Cina: "Santa Maria de Fatima".
Saya berdiri terpukau menyaksikan bangunan gereja yang berarsitektur Fujian, Cina Selatan. Begitu berbeda dari bangunan di sekitarnya. Atapnya ekor burung walet, konon simbol kesejahteraan.
Ada juga aksara-aksara Han yang tergambar. Saya mencoba menerkanya. Karakter “An” yang bermakna kedamaian, “Fu” bermakna kesejahteraan, “Kang” bermakna kesehatan, “Shou” bermakna panjang umur.
Kabarnya, dahulu bangunan ini merupakan rumah Kapitan Cina di Batavia, bermarga Tjioe, yang hidup hingga awal abad ke-20. Kini, istana sang kapitan itu masih terpelihara, namun sudah terkungkung gedung sekolah dan rumah biarawati.
Kendati rumah sudah menjelma sebagai gereja, pembagian ruangannya masih mengikuti tradisi pecinan. Ada tiga bagian utama: bagian depan menjadi ruang utama gereja, bagian tengah merupakan ruang peralatan ibadah, dan bagian belakang menjadi ruang tinggal pastor paroki Santa Maria de Fatima. .
Awalnya, gereja ini dirintis oleh beberapa orang imam Jesuit pada 1950-an, yaitu Pater Conradus Braunmandl, Pater Zwaans, dan Pater Carolus Staudinger. Mereka mengadakan pelayanan gereja, sekolah, dan asrama. Sekolah yang mereka bangun bernama Sekolah Ricci. Nama Ricci diambil dari Mateo Ricci, seorang imam misionaris Jesuit yang masuk ke Cina dan menyebarkan misinya.
Pada 1953, para pater dibawah Vikaris Apolistik Jakarta, yang bertugas di Stasi Toasebio, membeli sebidang tanah seluas satu hektar dari Kapitan Cina.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR