Nationalgeographic.co.id - Kita tidak asing dengan istilah "dunia serasa runtuh ketika kehilangan dia", yang biasanya diucapkan ketika putus cinta atau patah hati. Berbagai adegan patah hati di film atau novel romansa, bahkan menggambarkan rasa yang dialami seseorang dengan memegang dada kiri mereka. Kita pun juga merasa demikian.
Walau, hati dalam bahasa Inggris adalah heart (jantung) dan beberapa penelitian juga membuktikan dampaknya pada jantung, ternyata dampak patah hati terjadi pada otak kita. Hal itu seperti yang ditemukan oleh Helen Fisher, antropolog biologi yang mempelajari neurokimia tentang cinta ketika menjadi peneliti di Kinsey Instute, AS.
Pada tahun 2010, dia bersama timnya membuat makalah di Journal of Neurophysiology. Penelitian itu melibatkan 15 peserta yang belum melupakan hubungannya yang telah kandas (move on) yang dipindai dengan fMRI. Gambar otak para peserta diambil untuk melihat berbagai gambar yang memunculkan sikap penolakan, netral, dan familiar.
Ketika melihat gambar yang akan mereka tolak (berisi foto mantan), otak mereka aktif di beberapa areal yang sama dengan yang masih memiliki pasangan. Namun, menyala juga area otak yang berhubungan nafsu makan dan pengaturan emosi.
Temuan pengaturan emosi ini juga sesuai dengan respon peserta pada para peneliti. Para peneliti menulis adanya "tanda-tanda kurangnya kontrol emosi secara teratur sejak awal putus, dalam semua kasus yang terjadi secara teratur selama berminggu-minggu, atau berbulan-bulan"
Mengutip The Atlantic, Fisher memaparkan banyak area wilayah yang diaktifkan diperlukan untuk merasakan romansa, dan dianggap mendorong rasa seperti kecanduan kokain.
Perasaan inilah yang digambarkan oleh Kesha dengan lagu Your love is my drug. Dalam liriknya, Kesha berkata "mungkin aku butuh direhab", dilanjutkan berbagai kondisi psikologis yang frustasi—termasuk susah tidur—setelah perginya seorang yang dicintai. Karena selama ini, cinta yang didapatinya seperti candu.
Akan tetapi pada konteks "cinta adalah candu" efek fisik bagi cinta bertepuk sebelah tangan bisa lebih buruk, ujar Fisher.
Baca Juga: Kisah Dewa Narcissus, Jatuh Cinta Bayangan Sendiri Hingga Mati Tragis
Baca Juga: Jatuh Cinta di Masa Pergerakan: Melawan Batasan Ras dan Kolot Orangtua
"Pekerjaan Helen Fisher telah mengungkapkan bahwa sirkuit di otak ini, yang sangat terkait dengan perilaku adiktif, juga terlibat dalam perasaan yang terkait dengan ketertarikan romantis dan dapat membantu menjelaskan keterikatan yang sering mengikuti perasaan awal tergila-gila fisik dengan calon pasangan," kata Brian Boutwell, kriminolog dari School of Social Work, and Department of Epidemiology, Saint Louis University, yang tidak terlibat dalam penelitian.
"Anggap saja sebagai perasaan awal jatuh cinta, ketika Anda ingin terus-menerus berada di dekat orang lain, hampir dengan cara yang membuat ketagihan."
Mengutip BBC, ahli saraf Zoe Donaldson dari Department of Psychology and Neuroscience at University of Colorado Boulder mengatakan, "ketika Anda kehilangan orang tertentu, keinginan Anda untuk bersama mereka mungkin tidak hilang. Dan Anda tidak dapat memenuhi keinginan itu sehingga muncul rasa frustasi yang intens."
Donaldson juga tidak ikut dalam penulisan makalah ini. Meski demikian, ia telah beberapa kali terlibat dalam penelitian lain terkait saraf otak dan hubungan romansa seperti A neuronal signature for monogamous reunion di PNAS tahun 2020.
Pada makalah tahun 2010 berjudul Reward, Addiction, and Emotion Regulation Systems Associated With Rejection in Love, para peserta masih memikirkan penolakan yang dialami selama 85 persen dari jam bangunnya.
"Salah satu pengalaman paling menyakitkan yang bisa dialami manusia adalah kehilangan pasangan hidup," kata Fisher.
Baca Juga: Temuan Sains: Pria Berisiko Alami Gangguan Mental setelah Putus Cinta
Baca Juga: Ghosting: Alasan, Cara Bekerja, dan Dampaknya dalam Hubungan
Dia bersama tim mendapati area otak yang aktif terletak pada korteks dan cingulate interior yang berhubungan dengan rasa sakit fisik. Area ini biasanya juga menyala saat sakit gigi, jelasnya, tetapi rasa sakitnya bisa bertahan dan lebih lama.
Namun, Boutwell lewat studinya di Review of General Psychology punya solusi untuk membantu seseorang move on. Otak kita ternyata terprogram untuk proses pengembalian kondisi untuk tidak terlalu lama larut dalam sakit hati.
"Tinjauan literatur kami menunjukkan bahwa kita punya mekanisme di otak yang dirancang oleh seleksi alam untuk menarik kita melalui waktu yang sangat kacau dalam hidup kita," ujar Boutwell. "Temuan ini menunjukkan orang akan pulih, rasa sakitnya akan hilang seriing waktu. Akan ada cahaya di ujung terowongan."
Meski demikian, ada banyak cara untuk mempercepat terlepas dalam kesedihan akibat putus cinta yang disarankan oleh ilmuwan. Beberapa di antaranya melakukan latihan fisik seperti olahraga dan mental lewat menulis jurnal.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR