Nationalgeographic.co.id—Sekitar sepertiga dari makanan yang diproduksi di seluruh dunia terbuang sia-sia dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah. Dilansir dari laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbunan sampah Indonesia pada tahun 2016 mencapai 66 juta ton/tahun. Sekitar 57% adalah sampah organik, ini termasuk sisa makanan.
Sisa makanan menjadi sumber metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida. Menghilangkan limbah adalah solusi akhir. Cara ini juga membutuhkan biaya besar. Ada cara mudah untuk mengolah sampah makanan yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Pengomposan.
Pengomposan mengubah sampah yang membusuk menjadi penambah tanah yang berharga yang membantu tanaman berkembang. “Petani menyebutnya ‘emas hitam’,” tutur Sarah Gibbens dilansir dari laman National Geographic.
Menurut para ahli, pengomposan dapat mengurangi sampah dan sedikit membantu memerangi perubahan iklim.
“Pengomposan relatif mudah dipelajari dan dilakukan,” kata Bob Rynk, penulis utama The Composting Handbook dan profesor emeritus di SUNY Cobleskill.
Apa yang terjadi di tumpukan kompos?
Makanan berubah menjadi kompos melalui kerja keras mikroorganisme kecil seperti bakteri, jamur, dan protozoa.
“Ketika Anda memiliki tumpukan kompos, Anda menjadi petani mikroba. Anda mengelola mikroba,” kata Rhonda Sherman, pakar pengomposan di North Carolina State University.
“Dan apa yang dibutuhkan mikroba? Mereka membutuhkan hal yang sama seperti kita. Yaitu udara, air, makanan, tempat tinggal.”
Dalam skala kecil, tumpukan kompos harus terdiri dari tiga hal: sisa makanan, air, dan kayu atau daun kering. Ini dapat dilakukan di setiap rumah dengan mudah.
Daun dan ranting sering disebut ‘cokelat’, tinggi karbon. Sisa makanan, ‘hijau’, kaya akan nitrogen. Tumpukan kompos biasanya memiliki warna cokelat dua kali lebih banyak daripada hijau.
Daun dan ranting menciptakan ruang bagi oksigen untuk bergerak di seluruh tumpukan. Oksigen itu membantu mikroba kecil menguraikan limbah makanan melalui proses yang disebut pencernaan aerobik.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR