Nationalgeographic.co.id—Pemanfaatan jamur psilocybin atau jamur ajaib telah lama berada di tengah kehidupan manusia. “Jamur Psikedelik telah digunakan berabad-abad lalu pada beberapa budaya dan agama,” ungkap Lex Leigh, dalam artikel Ancient Origins bertajuk Teotlnanácatl: In Search of the Aztec 'God's Flesh' Psychedelic Mushroom.
Salah satu jamur psilocybin yang menarik perhatian banyak orang adalah Psilocybe aztecorum. Jenis jamur ini, keberadaanya dapat ditemukan di Amerika Serikat bagian barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Penamaan P. aztecorum, berakar dari sejarah Aztec, yang menggunakan jamur tersebut sebagai bagian penting dalam ritual keagamaan dan kebudayaan. Mereka menyebut varietas jamur ini dengan sebutan “teotlnanáctl” atau dalam bahasa inggris berarti “God’s Flesh Mushrooms.” Lantas, apa yang menjadi keistimewaan jamur ini?
Diketahui, bahwa jamur ini didalamnya terkandung psilocybin. Senyawa tersebut akan berubah menjadi psicolin setelah tertelan oleh manusia. Siapa saja yang berani mengkonsumsinya, akan mengalami berbagai gejala serta efek halusinogen.
Orang-orang yang mengkonsumsi jamur tersebut, mengaku mengalami realitas palsu, seperti adanya perubahan warna, permukaan yang bergerak, dan lingkungan yang seolah-olah meleleh. Di sisi lain, mereka juga mengalami gejala fisik seperti kantuk, melemahnya otot, euphoria, mual, dan muntah.
Dilansir dari Ancient Origins, efek-efek tertentu yang disebabkan oleh jamur ini, mungkin menjadi penyebab banyaknya budaya yang menggunakannya dalam ritual keagamaan atau spiritual.
Studi dari Universitas Johns Hopkins, mengungkapkan bahwa kolaborasi antara sedikit zat psilocybin dengan perilaku positif seperti meditasi dan latihan spiritual, dapat menyebabkan perubahan perilaku jangka panjang pada seseorang.
“orang-orang yang menjadi sampel dalam penelitian mengaku dirinya merasa lebih altruistic, bersyukur, dan memaafkan setelah mengkonsumsi psilocybin.”
Pemanfaatan Zat Halusinogen pada Budaya Aztec
Suku Aztec, budaya Mesoamerika yang terbentuk di Meksiko sekitar tahun 1300 M, sangat terkenal akan penggunaan zat halusinogen seperti jamur Teotlnanáctl.
Entheogens menjadi tema umum di antara artefak Aztec yang ditemukan dari Mesoamerika. Entheogens adalah zat psikoaktif yang menginduksi perubahan persepsi, suasana hati, kesadaran, kognisi, atau perilaku dalam konteks baik.
Peninggalan-peninggalan seperti patung, lukisan, tulisan, dan beberapa lainnya menunjukan bahwa adanya konsumsi zat halusinogen secara teratur dalam peradaban Aztec. Bukti kuat penggunaan halusinogen oleh suku Aztec dapat dijumpai pada dewa Xochipilli.
Xochipilli, dikenal suku Aztec sebagai dewa atas musim panas, bunga, lukisan, menari, cinta, dan kreativitas. Pada istilah lain, Xochipilli dijuluki sebagai dewa kesenangan atau pangeran bunga.
Baca Juga: Menyingkap Sisi Lain dari Montezuma, Penguasa Peradaban Aztec
Baca Juga: Sekali Tebas, Macuahuitl akan Mengantar Korban pada Dewa Suku Aztec
Baca Juga: Alih-alih Senjata atau Tentara, Cacar Meluluhlantakkan Suku Aztec
Baca Juga: Keseharian Calon Prajurit Suku Aztec, Digantung Jika Lakukan Salah
“Pada pagelaran festival, patung Xochipilli akan diberi persembahan berupa jagung dan pulque (minuman beralkohol berbahan baku tanaman maguey,” terang Lex Leigh dalam tulisannya. Ia juga menambahkan, terkadang pulque akan dioplos dengan entheogen untuk menghasilkan efek yang kuat.
Diluar kegiataan keagamaan, suku Aztec menggunakan jamur teotlnanácatl untuk memperoleh kesenangan, kreativitas, dan kehangatan emosional. Meskipun demikian, Leigh menegaskan, sejarah lengkap mengenai penggunaan jamur ini pada kebudayaan Aztec masih belum terungkap tuntas.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan jamur psikoaktif dalam ritual keagamaan dan budaya kian sedikit. Namun, meskipun demikian penggunaan barang tersebut masih dapat dijumpai pada beberapa wilayah di dunia.
“Beberapa budaya dan agama akan terus menggunakannya dalam ritual suci yang diturunkan. Orang lain juga mungkin akan terus mencobanya sebagai obat rekreasional, kegiatan yang semakin populer di dunia barat sejak tahun 1950-an,” pungkas Lex Leigh.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR